Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyampaikan Pidato Kenegaraan Dalam Rangka HUT ke-74 Kemerdekaan RI Tahun 2019, di hadapan sidang bersama DPR RI dan DPD RI, di Gedung Nusantara MPR/DPD/DPR RI, Jakarta, Jumat (16/8) siang.
Salah satu bagian yang menarik disinggung Presiden Jokowi tentang kedaulatan data.
Presiden menyatakan Indonesia harus tanggap terhadap tantangan baru yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Menurutnya, pemanfaatan teknologi yang merusak keadaban bangsa, yang membahayakan persatuan dan kesatuan, yang membahayakan demokrasi, harus diatur secara terukur.
"Kita harus siaga menghadapi ancaman kejahatan siber termasuk kejahatan penyalahgunaan data. Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita, kini data lebih berharga dari minyak. Karena itu kedaulatan data harus diwujudkan hak warga negara atas data pribadi harus dilindungi. Regulasinya harus segera disiapkan tidak boleh ada kompromi!" tegas Jokowi.
Asal tahu saja, isu soal data menjadi kekayaan baru bagi bangsa Indonesia ini gaungnya mulai terdengar sejak 2018.
Mengutip Gubernur Bank Indonesia, Agus D.W. Martowardojo bahwa pemanfaatan big data yang tepat dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga 7%. Data ini disampaikan dalam seminar “Globalisasi Digital: Optimalisasi Pemanfaatan Big Data untuk Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi” tahun lalu.
Kedaulatan Siber
Sebenarnya, kedaulatan data adalah bagian dari kedaulatan siber yang harus dimiliki sebuah negara. Sebuah omong kosong bicara kedaulatan data jika tak berdaulat secara siber.
Seperti diketahui, seiring dunia makin terhubung, maka seharusnya semua bentuk kedaulatan yang ada di dunia nyata berlaku juga di dunia maya.
Sudah seharusnya lingkup dari kedaulatan siber meliputi menjaga keamanan dan kenyamanan lingkungan warga Indonesia di dunia maya. Menjaga kewajaran penguasaan asing di wilayah siber, melindungi infrastruktur kritikal yang dimiliki pemerintah, mengendalikan ideologi, politik, dan budaya, melindungi privasi data dan anak-anak di dunia maya.
Semua ini bisa diwujudkan jika Indonesia menguasai dan melakukan lokalisasi infrastruktur teknologi informasi siber.
Teritorial siber seperti jaringan telekomunikasi publik nasional, gateway internasional, sistem pembayaran, hingga pusat data sudah seharusnya dikuasai dan dilokalisasi agar kedaulatan bisa ditegakkan.
Pemerintah sebenarnya sudah memiliki beberapa instrumen untuk menegakkan kedaulatan siber tersebut.
Misal, untuk isu lokalisasi data center, Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 (PP No. 82/2012) tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) sudah sewajarnya dijalankan tanpa perlu direvisi.
Wacana revisi PP PSTE yang memberi kelonggaran Big Data dibolehkan berada di luar Indonesia sangat bertentangan dengan semangat pemanfaatan Big Data untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi.
Tak hanya secara filosofi "kekayaan" lari ke luar negeri, tetapi secara potensi investasi berdasarkan hasil analisa studi internal Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) menunjukkan bahwa negara berpotensi merugi Rp 85,2 triliun apabila mengabaikan keberadaan pusat data di Indonesia.
Berikutnya, di level Undang-undang, seperti Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP), dan Rancangan Undang-Undang tentang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU Kamtansiber) harus berani secara tegas menyebutkan perihal lingkup kedaulatan siber sehingga tak ada lagi interpretasi kontroversi dalam aturan turunannya.
Terakhir, perasaan rendah diri dengan mengaitkan "belum mampu" membuat atau membangun sendiri sebuah sistem keamanan, ketahanan, dan pengelolaan data harus ditepis. Penggunaan barang hibah dari vendor asing untuk hal-hal terkait kedaulatan siber seharusnya tak terjadi.
Memang, goyangan dari kekuatan asing untuk tak tegaknya kedaulatan siber dengan alasan globalisasi atau kesetaraan tentu akan tinggi, terutama di tengah tensi perang dagang internasional.
Namun, bendera sudah dikibarkan, saatnya kita membawa panji Indonesia menjadi nyata di dunia siber.
@IndoTelko