Tak terasa aksi pemadaman (Blackout) konektifitas layanan internet di Papua dan Papua Barat sudah lebih dari seminggu.
Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memblokir layanan data internet di Papua dan Papua Barat sebagai buntut dari kerusuhan di Manokwari yang diduga merupakan bentuk protes terhadap tindakan persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di beberapa daerah seperti Malang, Surabaya, dan Semarang pada 19 Agustus 2019.
Kominfo melakukan pemblokiran layanan Data telekomunikasi di Papua dan Papua Barat mulai Rabu (21/8), setelah pada (19/8) sempat menjalankan throttling atau pelambatan akses/bandwidth untuk akses media sosial (Medsos) di kedua wilayah itu.
Jika dilihat dari kondisi sosial di Papua, suasana masih memanas.
Di Jayapura pada Kamis (29/8), kerusuhan yang terjadi berujung pada dibakarnya fasilitas telekomunikasi milik TelkomGroup.
Entah ada hubungannya dengan Blackout Internet atau tidak, sepertinya ini cara dari massa menunjukkan sikap tak suka dengan "pemadaman" akses informasi di wilayahnya.
Pasalnya, TelkomGroup adalah pemilik pangsa pasar terbesar untuk layanan seluler melalui Telkomsel dan internet di rumah melalui IndiHome di Papua.
Perang Informasi
Hal yang menjadi pertanyaan sekarang adalah efektifkah kebijakan "Blackout Internet" di Papua dan Papua Barat?
Kominfo mengungkapkan kabar bohong terkait dengan kondisi di Papua sangat banyak. Berdasarkan data Kominfo, terdapat 300 ribu URL (Uniform Resource Locator) yang memuat berita bohong terkait dengan kondisi Papua dan Papua Barat sejak 18 Agustus 2019.
Kominfo mencium ada aksi buzzer dari banyaknya hoaks tentang isu Papua. Aktivitas buzzer tersebut terpantau dari banyaknya akun palsu yang saling terkoneksi satu sama lain ketika berkomentar terhadap sebuah komentar di medsos yang juga diproduksi oleh akun palsu. Kominfo mengaku telah memiliki data terkait orang dan lokasi buzzer tersebut berasal.
Mesin analisa Media Sosial Drone Emprit mengungkapkan di Medsos tengah berkembang narasi memperjuangkan pembebasan "West Papua" dengan target publik internasional.
"Percakapan tentang "West Papua" kebanyakan dalam bahasa Inggris. Namun asal user-nya ternyata tertinggi dari Jakarta, lalu dari Berlin, London, Sydney, Melbourne, dan New York. Dari Jayapura sedikit," ulasnya Founder Drone Emprit dalam akun @ismailfahmi (26/8).
Menurutnya, walau blackout layanan internet terjadi di Papua, namun tren kampanye "West Papua" di dunia internasional tidak terpengaruh sama sekali, bahkan makin tinggi.
Bahkan, dari peta jaringan sosial (SNA) tentang "West Papua" untuk Minggu (1/9) di dunia internasional, tampak narasinya cenderung dimonopoli oleh klaster "Pro West Papua".
Tanda Pagar (Tagar) atau Hashtags yang sering digunakan membawa narasi: uprising, vote, Deiyai massacre, freedom, genocide.
Ada hashtags pro NKRI, tapi dalam bahasa Indonesia: Satu Indonesia, Sa Papua. Sepertinya ditargetkan ke pengguna Indonesia.
Kesimpulannya, dari rekaman percakapan di medsos sudah jelas perang informasi tengah terjadi. Agenda yang dibawa masing-masing kubu sudah jelas, pertanyaanya masih butuhkah Blackout Internet dilakukan dalam situasi seperti ini?
Fakta berbicara, ketika akses internet diblokir, ternyata bukan hanya masyarakat di Papua yang terisolasi, tetapi seluruh penduduk Indonesia menjadi "gelap" informasi tentang peristiwa di bumi cenderawasih itu.
Kondisi ini tidak menguntungkan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena yang dibutuhkan sekarang adalah bersama-sama melawan narasi berkedok "kebebasan" tetapi membawa misi pemisahan dari NKRI ke dunia internasional.
Pemerintah harus sadar, membangun kontra narasi tidak bisa dengan mengerahkan buzzer atau mengirimkan sebanyak-banyaknya postingan ke dunia maya untuk melawan opini negatif. Pemerintah harus mampu menyediakan fakta, relevansi, interaksi, endurance, dan natural atas narasi yang dibangunnya agar kepercayaan dunia didapat.
Caranya? Bukalah akses internet dan biarkan masyarakat melakukan verifikasi dan validasi atas informasi yang didapatnya.
Sadarlah, di saat seperti ini tak ada yang lebih dibutuhkan dari dukungan "organik" dari masyarakat untuk bersama-sama menjaga NKRI.
Membiarkan "Blackout Internet" berlanjut sama saja membuat negara tetap kalah selangkah di era perang informasi.
@IndoTelko