Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) rencananya kembali akan diubah di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
UU ini sudah mengalami perubahan pada periode pertama Joko Widodo yakni Oktober 2016, hingga sekarang dikenal dengan UU No. 19 Tahun 2016.
Pada 2016, revisi banyak menyorot pasal kontroversial yakni Pasal 27 yang dianggap sering disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi di dunia maya.
Dalam revisi dinyatakan untuk menghindari multitafsir terhadap "ketentuan penghinaan/pencemaran nama baik" pada Pasal 27 ayat (3). Perubahan UU ITE menegaskan ketentuan tersebut adalah delik aduan dan unsur pidana mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.
Jika sebelum direvisi maksimal hukuman untuk Pasal 27 menjadi 6 tahun, maka setelah direvisi menjadi 4 tahun. Ini agar pelaku tidak bisa langsung ditahan.
Meski sudah direvisi, ternyata dalam praktik di lapangan, korban-korban dari UU ITE masih berjatuhan.
Kala itu yang menjadi momok adalah penggunaan Pasal 28 ayat (2) dan Jo Pasal 45 bagi warganet, terutama untuk mereka yang bersuara keras terhadap kebijakan pemerintah.
Bunyi Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah sebagai berikut:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Sedangkan Pasal 45A ayat 2 UU ITE menyatakan "Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".
UU ITE menggunakan unsur SARA yang diterjemahkan dengan "suku, agama, ras, dan antargolongan". Sementara UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (UU Diskriminasi Rasial) khususnya di Pasal 4 dan Pasal 16 elemen utamanya adalah "kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis" atau "kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis".
Artinya, Pasal 28 ayat (2) UU ITE muatannya lebih luas lingkupnya di banding UU Diskriminasi. Karena tidak hanya mengatur etnis dan ras namun ada unsur kejahatan dalam frase "agama dan antar golongan", yang tidak ada dalam UU Diskriminasi.
Dalam pemantauan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Pasal UU ITE ini telah digunakan dalam berbagai kasus penyebar kebencian di Indonesia, berbeda dengan Pasal dalam UU Diskriminasi Rasial, yang belum pernah digunakan sama sekali dalam Pengadilan.
Usulan Revisi
Sekarang, Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenhukam), mengusulkan Perubahan Kedua atas UU ITE.
Tujuh perubahan materi terhadap perubahan kedua UU ITE sebagai berikut. Pertama, perubahan terhadap ketentuan ayat 1, ayat 3, dan ayat 4, pasal 27 mengenai kesusilaan, penghinaan dan atau pencemaran nama baik, serta pemerasan dan atau pengancaman dengan merujuk ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kedua, perubahan ketentuan pasal 28, sehingga hanya mengatur ketentuan mengenai berita bohong atau informasi menyesatkan (hoaks) yang menyebabkan kerugian materiil konsumen.
Ketiga, penambahan ketentuan pasal 28 A, di antara pasal 28 dan pasal 29, terkait ketentuan SARA dan pemberitaan bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat. Keempat, perubahan ketentuan pasal penjelasan pasal 29, mengenai perundungan (cyber bullying).
Kelima, perubahan ketentuan pasal 36 mengenai pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang kain. Keenam, perubahan ketentuan pasal 45 terkait ancaman pidana penjara, dan denda, serta menambah pengaturan mengenai pengecualian pengenaan ketentuan pidana atas pelanggaran kesusilaan dalam pasal 27 ayat 1.
Ketujuh, perubahan ketentuan pasal 45 A, terkait pidana atas pemberitahuan bohong dan informasi menyesatkan yang menimbulkan keonaran di masyarakat.
Selain perubahan pasal-pas UU ITE tersebut, pasal 622 ayat 1 huruf R, UU No 1 Tahun 2023 tentang KUHP teerdapat ketentuan dalam UU ITE yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pertama, ketentuan pasal 27 ayat 1 mengenai kesusilaan dan ayat 3 mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik. Kedua, ketentuan pasal 28 ayat 2 mengenai ujaran kebencian berdasarkan SARA. Ketiga, ketentuan pasal 30 mengenai akses ilegal. Keempat, ketentuan pasal 31 mengenai intrsepsi atau penyadapan.
Kelima, ketentuan pasal 36 mengenai pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian orang lain. Keenam, ketentuan pasal 45 ayat 1 ancaman pidana terhadap pelanggaran pasal 27 ayat 1 terkait kesusilaan, dan ayat 3 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran pasal 27 ayat 3 terkait penghinaan dan pencemaran nama baik.
Ketujuh, ketentuan pasal 45 A ayat 2 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran pasal 28 ayat 2 terkait ujaran kebencian berdasarkan SARA.
Kedelapan, ketentuan pasal 46 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran pasal 30 terkait akses ilegal. Kesembilan, ketentuan pasal 47 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran pasal 31 terkait intersepsi atau penyadapan.
Kesepuluh, ketentuan pasal 51 ayat 2 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran pasal 36 terkait pemberatan hukuman, karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain.
Indonesia yang tengah menuju digital nation membutuhkan regulasi sebagai batasan-batasan. Keberadaan regulasi akan memberikan jaminan hukum kepada setiap para pengguna ruang digital. Sehingga, potensi terjadinya kejahatan siber dapat dicegah secara signifikan melalui pasal-pasal yang termaktub dalam perundangan.
Untuk menuju kondisi ideal tentu tak bisa hanya berhenti di revisi regulasi, mengevaluasi secara menyeluruh implementasi UU ITE oleh aparat penegak hukum, termasuk mendorong aparat untuk memiliki pemahaman dan perspektif hak asasi manusia dan profesionalitas dalam menangani setiap perkara UU ITE adalah hal yang mutlak juga dilakukan.
@IndoTelko