JAKARTA (IndoTelko) - Federasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara (FSP BUMN) Strategis mengungkapkan mayoritas dari ratusan masukan dalam uji publik revisi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) No 52 dan 53 Tahun 2000 berisikan penolakan terhadap rencana yang diinisiasi Menkomninfo.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara (FSP BUMN) Strategis Wisnu Adi Wuryanto mengatakan, berdasarkan penelusurannya, masukan berasal dari berbagai entitas. Mulai lembaga swadaya, akademisi, masyarakat, perorangan, dan lain-lain.
“Walaupun ada yang merasa pesimistis Uji Publik itu hanya basa-basi, namun faktanya masukan yang diterima Kominfo cukup banyak. Dan mayoritas menolak rencana RPP tersebut," katanya dalam rilis yang diterima, pekan lalu.
Polemik kedua RPP terkait kewajiban sharing frekuensi dan infrastruktur tersebut sejak awal ditentang keras FSP BUMN Strategis. Sebab, jaringan yang telah dibangun BUMN Telekomunikasi kelak bisa ditumpangi operator-operator asing tanpa kepastian jaminan pengembalian investasinya.
Hal ini akan berakibat operator enggan dan malas membangun di daerah yang belum dilayani atau daerah yang tidak layak secara bisnis. Demikian pula dengan daerah perkotaan, sehingga akan mengakibatkan persaingan tidak sehat karena kewajiban sharing antara dua atau tiga operator dapat mengakibatkan terjadinya inefisiensi frekuensi.
Menurut Wisnu, penolakan itu melengkapi kontroversi seputar rencana Revisi PP 52 Tahun 2000 dan PP 53 Tahun 2000 yang telah berlangsung enam bulan belakangan ini. Seharusnya, Menkominfo sadar bahwa gagasan yang disampaikan itu tidak akuntabel untuk dilanjutkan.
“Tetapi jika masih ngotot, tentu wajar kami curiga ada agenda lain di balik semua itu. Kecurigaan ini cukup beralasan jika kita menelusuri perjalanan RPP sejak pertama kali mencuat ke publik yang kurang transparan dan berujung demontrasi FSP BUMN Strategis dan bahkan sudah ada pihak yang melaporkan ke KPK," katanya.
Federasi juga sangat menyoroti masa uji publik yang terkesan basa basi, karena untuk menguji materi setingkat PP hanya diberi waktu satu minggu, itupun dalam bentuk pemberian masukan lewat email.
Mestinya, kata dia, sesuai Perpres 87 Tahun 2014, proses uji publik tidak hanya dilakukan melalui publikasi materi RPP di media massa. Tetapi juga harus dilakukan dalam forum seminar, lokakarya, sosialisasi, dan lain sebagainya agar terjadi adu argumen dan perdebatan komprehensif dari berbagai kalangan.
Apalagi, materi kedua PP itu menyangkut telekomunikasi yang erat sekali kaitannya dengan aspek kepentingan masyarakat dan pertahanan/keamanan negara.
“Karena itu, dengan banyaknya penolakan dari materi uji publik tersebut, kami sekali lagi meminta Menkominfo Rudiantara agar menghentikan proses RPP tersebut. Kita harus sangat hati-hati menetapkan kebijakan telekomunikasi ini karena dampaknya sangat luas dan merambah banyak aspek," katanya.
Diingatkannya, tahun depan Kementerian Kominfo akan merevisi UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dengan masa transisi RPP 52 dan RPP 53 diberi waktu dua tahun. Karenanya, akan terjadi irisan waktu yang menyebabkan pemborosan. (Baca: Polemik Revisi PP)
"Menurut kami, lebih baik konsen ke pembahasan RUU tersebut dengan DPR daripada buang-buang waktu membuat kegaduhan dalam RPP ini. Kecuali memang betul dugaan dari KASPI pekan lalu dalam pelaporan ke KPK, bahwa ada pihak tertentu di balik proyek ini sehingga Menkominfo tampak begitu gigih," pungkasnya. (Baca: Uji Publik RPP)
Sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemarno menegaskan tak alergi dengan revisi kedua PP asalkan investasi yang dilakukan Telkom selama ini dalam membangun infrastruktur diperhitungkan dan diberikan apresiasi. (Baca: Menteri BUMN soal network sharing)
"Sebenarnya jika melihat aturan yang lama kan semua perusahaan (operator) harus bangun backbone masing-masing. Sekarang kita (Telkom) sudah bangun, mereka minta sharing. Boleh saja sharing, tetapi hitung dulu investasi yang kita keluarkan. Dulu itu trafiknya rendah, tinggi resiko untuk investasi," kata Rini usai meresmikan pengoperasian data center Telin-3 di Singapura, belum lama ini.
Sedangkan Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah menyarankan network sharing diserahkan ke masing-masing kesepakatan perusahaan. "Kalau wajib nanti tidak ada yang mau bangun jaringan. Semua saling menunggu, ini berbahaya bagi kepentingan nasional," kata Ririek beberapa bulan lalu.
Diharapkannya, jangan sampai network sharing ini menjadi cara bagi operator lain untuk mengakali kewajiban dari lisensi yang dipegang. Apalagi, sumber spektrum mobile di Indonesia termasuk terbatas, bahkan bila dibandingkan dengan Filipina sekalipun. "Regulasi dibuat harus memenuhi asa keadilan dan bukan untuk kepentingan salah satu operator," katanya.(tp)