JAKARTA (IndoTelko) - Pemerintah diminta untuk mewaspadai minimnya nominal investasi dari Starlink di Indonesia karena berpotensi merugikan industri telekomunikasi nasional.
"Jika angka Rp30 miliar yang diumumkan Menteri Investasi Bahlil itu benar, tidak sepadan dengan "kerusakan" yang dibuat Starlink di pasar telekomunikasi nasional. Terutama nantinya di masa depan, jika fitur direct to cell diaktifkan di negeri ini," papar Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi, kemarin.
Menurutnya, nilai investasi Starlink tak sebanding jika ada perusahaan Halo-halo mati atau ada investor telekomunikasi kabur dari Indonesia.
"Soal investasi Rp30 miliar, kita harapkan ini hanya awal dan nanti akan masuk investasi jumbo. Namun kalau hanya segitu, ya ini yang perlu kita evaluasi lagi apakah sesuai, antara pasar yang tergerus dengan investasi yang masuk," jelas Heru.
Sementara Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, meminta Ombudsman menyelidiki proses penerbitan izin Starlink di Indonesia.
Menurutnya, modal Starlink untuk melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi layanan tertutup VSAT (Jartup VSAT) dan izin penyelenggara jasa internet (ISP) dinilai tak masuk akal.
"Apa iya modal sebesar itu cukup untuk membangun usaha Jartup VSAT dan ISP? Padahal industri telekomunikasi memiliki karakteristik high capex dan high expenditure. Apakah masuk akal karyawan yang dibutuhkan hanya tiga orang saja? Menurut saya itu sangat tidak mungkin,"ungkap Trubus.
Dikalkulasinya, modal yang dikeluarkan penyelenggara jartup VSAT dan izin ISP seharusnya lebih dari Rp 30 miliar. Dengan dapat melayani seluruh pelanggan di seluruh Indonesia, maka Starlink semestinya membutuhkan minimal sembilan stasiun Bumi yang dijadikan hub.
Sebagai perbandingan minimal investasi untuk satu stasiun Bumi seperti yang dilakukan oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Kominfo untuk Satria-1 bisa mencapai US$5 juta atau setara Rp 82,4 miliar.
Selain itu, setidaknya layanan internet berbasis satelit milik Elon Musk itu juga membutuhkan lebih dari tiga Network Operation Center (NOC), dimana satu NOC membutuhkan minimal 15 orang tenaga kerja per hari (3 shift). Sedangkan, nilai investasi untuk sat NOC tak kurang dari USD 1 juta atau sekitar Rp 16,4 miliar.
Trubus menilai minimnya modal dan mudahnya izin yang diterima tanpa melihat kewajaran nilai investasi di perusahaan telekomunikasi membuktikan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah mengabaikan prosedur (maladministrasi).
"Kuat sekali dugaan maladministrasi pada penerbitan izin penyelenggaraan telekomunikasi Starlink. Kayaknya ada tekanan politik luar biasa yang dialami Kominfo ketika penerbitan izin Starlink ini. Harusnya Ombusdman dan APH dapat melakukan investigasi mendalam pemberian izin Kominfo tersebut. Menurut saya ini tak wajar dan terkesan instant. Maladministrasi itu mengarah perilaku koruptif," pungkasnya.
Seperti diketahui, banyak operator eksisting mengeluhkan perlakuan regulator terhadap Starlink di Indonesia.
Sejatinya perusahaan telekomunikasi nasional siap berkompetisi dengan Starlink. Meski saat ini kondisi perusahaan telekomunikasi di Indonesia tak sehat. Mereka masih menanggung beban regulasi (regulatory charges) yang sangat tinggi, lebih dari 15%, padahal ambang batas sehat kurang dari 8%.
Saat ini Starlink dikenakan regulatory charges sangat rendah. Kominfo hanya mengenakan biaya hak penggunaan (BHP) Izin Stasiun Radio (ISR) satelit ke Starlink. Jumlah BHP ISR yang dikenakan Kominfo ke Starlink juga hanya dihitung 1 unit satelit dengan nilai maksimal Rp2 miliar per tahun.
Padahal satelit Starlink yang memancar di Indonesia lebih dari 200 unit. Sebagai perbandingan, BHP Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) operator seluler dan dibayarkan ke kas negara tahun 2023 mencapai Rp21,1 triliun.
Saat ini operator satelit nasional dikenakan BHP ISR berdasarkan jumlah kepemilikan satelit. Jika punya dua satelit, maka harus membayar Rp4 miliar. Sehingga jika terjadi perubahan perhitungan BHP ISR Starlink menurut Agung dapat meningkatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan menciptakan iklim persaingan usaha.
Metode perhitungan tersebut mirip pemerintah yang memungut PNBP sektor transportasi udara berdasarkan jumlah pesawat yang melintas di Indonesia, bukan per perusahaan penerbangan.
Starlink saat ini menawarkan 3 jenis tarif langganan, yakni, layanan dengan tarif Rp750.000/bulan untuk residensial, Rp990.000/bulan untuk jelajah regional, serta Rp4,3/bulan juta untuk servis jelajah global.(ak)