JAKARTA (IndoTelko) - Komisi I DPR penasaran dengan modern lisensi yang dimiliki Telkomsel karena banyak kalangan menganggap operator ini terlalu agresif membangun jaringan bahkan di area yang tak menjadi kewajibannya yakni di daerah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Isu membangun BTS hingga ke perbatasan dan pelosok yang tak menjadi kewajiban ini sangat penting untuk dicatat. Kami ingin Anda berikan modern lisensi itu ke kami agar kita bisa pelajari. Soalnya waktu rapat dengan Menkominfo, dibilang tak pernah minta Telkom bangun daerah perbatasan," kata Anggota Komisi I DPR RI Budi Youyastri saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan direksi operator seluler pada Kamis (25/8) lalu.
Dalam RDPU hadir President Direktor/CEO XL Dian Siswarini, Presiden Direktur Smartfren Merza Fachys, President Director dan CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli, Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah, Direktur Utama Telkom Alex Sinaga, dan Wakil Presiden Direktur Tri PT Hutchison 3 Indonesia M. Danny Buldansyah.
Budi juga mempertanyakan komitmen operator selain Telkomsel untuk membangun jaringan telekomunikasi di seluruh Tanah Air. Saat mendapat lisensi, seluruh operator telekomunikasi telah menyatakan komitmennya membangun jaringan telekomunikasi di seluruh Nusantara.
"Ini kan semua operator mendapat lisensi nasional. Jadi pasti ada komitmen untuk membangun di Papua, Maluku, Ternate, Alor, dan wilayah Indonesia timur lainnya. Coba kasih ke kami komitmen itu. Dan ini ada Telkomsel malah bangun hingga 700 BTS di perbatasan dan pelosok, padahal menterinya tak minta,” kata Budi.
Menanggapi permintaan tersebut Direktur Utama Telkom Alex J Sinaga mengakui ada sekitar 700 BTS milik Telkomsel yang terpasang di perbatasan untuk menjaga kedaulatan NKRI.
"Dalam melayani masyarakat, Telkomsel saat ini harus mensubsidi 16 ribu- 17.168 BTS yang tersebar di pelosok hingga perbatasan. Itu sekitar 14% dari 116 ribu dari BTS terpasang posisinya merugi. Tetapi kita harus tetap jaga layanan dan tak matikan. Soalnya begitu BTS terpasang ada ekosistem dan ekonomi yang bergerak, mulai dari pedagang pulsa dan lainnya," tambah Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah.
Sebelumnya, dalam Rapat Kerja dengan Komisi I DPR pada Rabu (23/8), Menkominfo Rudiantara menegaskan tak pernah meminta Telkom Group untuk membangun daerah remote.
"Saya tak pernah meminta Telkom membangun remote area. Kalau kebetulan dibangun, barangkali dari BUMN atau masyarakat di daerah meminta dibangun," katanya.
Untuk diketahui, faktor BTS Telkomsel yang menyebar ke daerah pelosok dan perbatasan salah satu pemicu adanya perbedaan hitungan antara Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dengan Telkom Group di revisi biaya interkoneksi.
Di utilisasi jaringan Geotype sub urban dan rural pemerintah menganggap sudah tergunakan 80% di tahun 2018. Padahal fakta di lapangan di area sub urban dan rural utilisasi maksimal bervariasi 6,3%-20% di tahun 2018. (Baca: Jaringan Telkomsel)
Dampak perbedaan perkiraan ini terjadi perbedaan perhitungan di biaya interkoneksi lokal dimana versi Kominfo bisa menjadi Rp 204 sementara versi Telkom Group di Rp 285. (baca: Pro kontra interkoneksi)
Menurut Anggota Komisi I DPR Evita Nursanty biaya interkoneksi adalah cost recovery. Telkom dan Telkomsel memiliki cost recovery tinggi, Rp 285, karena membangun di seluruh Indonesia hingga ke daerah-daerah terpencil. Sedangkan cost recovery operator lain jauh di bawah Telkom Group, yakni Rp 120. Sebab hanya membangun di kota-kota besar. Cost recovery Indosat Rp 86, XL Rp 65, Smartfren Rp 100, dan Tri Rp 120. (Baca: Polemik Interkoneksi)
"Tidak wajar operator yang sudah membangun hingga ke pelosok negeri dengan biaya besar, tarifnya disamakan dengan operator lain, yang irit bangun jaringan. Kalau bangun jaringannya sedikit, lalu ingin minta yang banyak, itu tidak fair," tegasnya.(id)