telkomsel halo

Alex J Sinaga: Benci tapi Rindu

22:45:35 | 23 Dec 2012
Alex J Sinaga: Benci tapi Rindu
Alex J Sinaga (Dok)
Pada medio Mei 2012, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) merombak jajaran manajemen Telkomsel.

Alex Janangkih Sinaga diangkat menjadi  direktur utama Telkomsel (Tsel-1) menggantikan Sarwoto Atmosutarno.

Pria kelahiran tahun 1961 ini sebelumnya menjabat sebagai Direktur Utama di salah satu anak usaha Telkom,  Metra, sejak 2007 lalu.

Sebelum bergabung dengan Metra, Pria yang akrab dipanggil AJS ini  dipercaya memegang beberapa jabatan strategis di Telkom, di antaranya sebagai General Manager Telkom Jakarta Barat, Senior Manager Business Performance of Regional II Division, Head of Fixed Wireless Division serta Head of Enterprise Service Division.

Belum lama ini AJS sebagai Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) memberikan paparan dalam seminar OTT Friend or Foe yang digagas indotelko bersama Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI).

Berikut kutipan wawancara dengan  lulusan Teknik Elektro Telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung dan peraih gelar Master dari University of Surrey Guldford, Inggris itu:

Apa pendapat Anda tentang pemain Over The Top (OTT)?
Benci tapi rindu. Ini kalimat yang tepat menggambarkan perasaan operator terhadap OTT. Di satu sisi kami membangun jaringan dengan investasi besar, setelah itu dimanfaatkan OTT dengan investasi yang minimum dan mendapatkan keuntungan maksimal. Rindu, karena kami butuh OTT agar pelanggan mau menggunakan jaringan data yang dibangun.

Bagaimana kondisi industri seluler sekarang di Indonesia?
Indonesia memiliki 47,6 juta pengguna mobile internet. Kita ini ada di peringkat kesembilan di dunia. Saat ini tarif data di Indonesia paling murah.  Dengan 8 sen dollar AS, Indonesia merupakan negara dengan tarif koneksi termurah di wilayah Asia. Malaysia saja 300 sen dollar AS, India 40 sen dollar AS, Thailand 30 sen dollar AS dan Singapura 15 sen dollar AS.

Bagaimana perkembangan OTT di Indonesia?
Secara umum bisa saya katakana pemain OTT itu berasal dari pasar global dimana servernya tidak diletakkan di Indonesia. Operator di Indonesia harus mengeluarkan capex dan Opex yang tinggi untuk membangun jaringan dan mendapatkan bandwidth premium. Dengan ada 50 juta pengguna facebook di Indonesia, itu berarti ada sekitar US$ 252 juta yang diantarkan secara sukarela ke luar negeri. Secara umum operator hanya mengandalkan pendapatan sebagai pipa data. Negara pun hanya  mendapatkan penghasilan dari PPN jika transaksi melalui kartu kredit untuk pembelian aplikasi.

Apa yang harus dikembangkan untuk melawan OTT global?
Saya percaya dengan konsep DNA yakni Device Network Application. Indonesia sepertinya sudah susah bersaing di Device. Apalagi, sekarang pemain device itu juga banyak menjadi OTT. Contohnya RIM atau Nokia. Kita ada kekuatan di Network dan Applikasi. Kita harus  kembangkan ekosistem lokal agar bandwidth tidak lari keluar negeri dan devisa tidak melayang.

Anda yakin dengan konsep membangun ekosistem DNA lokal?
Kenapa tidak? Indonesia punya potensi yang besar. Kala saya bertemu Steve Wozniak, dia menyatakan “You have to develop your own DNA Ecosystem” artinya itu apa? we have to provide our own OTT services.
Cara pertama adalah, semua komponen bangsa ini harus bersatu. Operator harus mulai menghentikan perang tarif yang hanya membuat kondisi keuangan tidak sehat. Berikutnya, masyarakat harus mulai sadar bahwa tidak adil membandingkan tarif di Indonesia dengan luar negeri karena kondisi infrastrukturnya berbeda.

Berikutnya?
Kita butuh dukungan dari pemerintah, baik itu regulasi dan kebijakan yang mendukung perkembangan ekosistem DNA lokal. Misalnnya, hadirnya peraturan pemerintah tentang kewajiban menempatkan App Server di dalam negeri untuk OTT, regulasi penggunaan pulsa sebagai alat bayar layanan digital, dan insentif pemerintah untuk pemain  OTT lokal seperti  insentif pajak, bantuan dan  kemudahan regulasi.

Apa yang paling dekat bisa direalisasikan pemerintah bagi ekosistem DNA?
Pulsa menjadi alat bayar digital. Itu tinggal payung hukumnya saja. Ini akan menaikkan level of confidence kala bernegosiasi dengan OTT global. Secara teknis dan infrastruktur, operator lokal sudah siap.(id)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories