JAKARTA (IndoTelko) – Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) terus mematangkan formula biaya interkoneksi agar memberikan keadilan dan transparansi bagi industri seluler.
“Kita sedang kumpulkan data dari operator dominan. Kalau di seluler salah satunya dari Telkomsel. Kalau Fixed, tentu Telkom,” ungkap Anggota KRT BRTI Nonot Harsono, kemarin.
Payung hukum untuk interkoneksi ada di Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 tahun 2006 tentang Interkoneksi (PM 8/2006).
Sementara itu, tarif layanan telekomunikasi melalui jaringan bergerak selular diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 tahun 2008 (PM 9/2008).
PM 8/2006 menjamin pelaksanaan interkoneksi yang transparan, non-disriminatif dan mengedepankan prinsip cost-based (sesuai biaya) yang dipandang lebih adil bagi para penyelenggara yang berinterkoneksi.
Perhitungan biaya interkoneksi selama ini menggunakan metode perhitungan Bottom Up Long Run Incremental Cost (BU LRIC) dengan pendekatan Forward Looking.
Biaya interkoneksi salah satu komponen tarif ritel selain biaya promosi, dan margin keuntungan. Selama ini biaya interkoneksi tak berani dipangkas drastis yang berujung tarif ritel tetap tinggi. Biaya interkoneksi mobile ke mobile sekarang masih Rp 250 per menit panggilan. (
Baca juga:
Pemerintah formulasi Interkoneksi)
Perdebatan
Dijelaskan Nonot, pengumpulan data-data ini perlu dilakukan, terutama mengklasifikasi jaringan yang dibangun dengan dana universal service obligation (USO). “Soalnya ini masuk dalam perdebatan, dihitung atau tidak,” katanya.
Selama ini regulator memperhitungkan biaya yang dikeluarkan operator dominan Seperti biaya infrastruktur, pungutan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi, volume penjualan, dan lain-lain.(
Baca juga:
Biaya interkoneksi susah dipangkas).
Ditambahkannya, jika pengumpulan data sudah selesai, akan disusun daftar penawaran interkoneksi (DPI) sebagai basis menghitung tarif ritel. "Harapannya akhir tahun ini semua beres,” pungkasnya.(id)