JAKARTA (IndoTelko) – Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dikabarkan tengah membidik pajak dari transaksi iklan digital yang dilakukan pemain Over The Top (OTT) global.
OTT adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator. Para pemain OTT ini dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan di atas jaringan milik operator. Golongan pelaku usaha yang masuk OTT diantaranya Facebook, Twitter, dan Google.
“Saat ini kita sedang berkoordinasi dengan kementrian dan instansi terkait untuk menerapkan tax playing field bagi OTT global. Kita mau semua happy. Mereka berbisnis di sini tenang, pemerintah dapat pajak dari aktifitasnya,” ungkap Menkominfo Rudiantara, kemarin.
Dikatakannya, transaksi dari OTT global yang potensial untuk digarap adalah dari iklan digital, terutama melalui ad sense dimana pemain global sangat mumpuni sistem billing dan delivery di digital ads.
“Bila OTT menjalin kemitraan atau bertransaksi bisnis iklan dengan mitra asal Indonesia dan memakai mata uang rupiah akan terkena pajak. Kita akan buat Peraturan Menteri untuk payung hukum. Besaran pungutan tengah dibahas. Kuartal pertama 2016 sudah bisa dijalankan,”tutupnya.
Sebelumnya, Komite Independen Telekomunikasi dan Penyiaran Indonesia (KITPI) menyatakan sekitar 60% pangsa pasar konten di Indonesia dikuasai asing dengan rata-rata kepemilikan di atas 60%.
Data dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia menyatakan hampir 90% trafik lari keluar negeri untuk mengakses data.
Dalam perkiraan APJII, Indonesia menyumbang pendapatan bagi pemain konten dari luar negeri sekitar Rp 15 triliun per tahun dimana untuk Facebook sekitar US$ 500 juta, Twitter (US$ 120 juta), LinkedIn (US$ 90 juta), dan pemain asing lainnya.
Dari sisi konektifitas karena harus melayani trafik keluar negeri, operator pun harus membeli bandwidth internasional US$ 218 juta per tahun. (
Baca juga:
Indonesia ajak Asia Tenggara Bersatu melawan OTT)
Sedangkan dari sisi pajak malah ada potensi yang tak bisa diraup dari pemain asing sekitar Rp 10 triliun hingga Rp 15 triliun menurut The Center for Welfare Studies.(id)