JAKARTA (IndoTelko) – Indonesia akhirnya menyusul Filipina dalam urusan tata kelola layanan transportasi berbasis aplikasi (Ridesharing).
Pemerintah melalui Kementrian Perhubungan (Kemenhub) secara resmi mengeluarkan aturan untuk layanan transportasi berbasis aplikasi dalam Peraturan Menteri (Permen) Perhubungan No 32 tahun 2016 tentang Penyelenggaraaan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek seperti taksi, angkutan sewa, carter, pariwisata dan lainnya.
“Aturan ini untuk ridesharing menggunakan moda transportasi roda empat sesuai Undang-undang Angkutan Jalan Raya,” ungkap juru bicara Kemenhub Hemi Pamuharjo dalam pesan singkat kepada IndoTelko, Kamis (21/4).
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Pudji Hartanto Iskandar menegaskan pemilik layanan taksi online wajib mendaftarkan diri dan nama dalam STNK harus berbadan hukum atau sesuai UU no 22 tahun 2009, pasal 139 ayat 4.
Penyedia transportasi berbasis aplikasi dalam aturan ini disebut sebagai Penyelenggaraan Angkutan Umum dengan Aplikasi Berbasis Teknologi Informasi. Salah satunya menyebutkan perusahaan jasa angkutan tidak dalam trayek, misalnya taksi, diperbolehkan memakai aplikasi.
Penyediaan aplikasi bisa dilakukan sendiri atau bekerja sama dengan perusahaan aplikasi yang sudah berbadan hukum Indonesia. Sistem pembayaran angkutan tersebut juga boleh sekaligus dalam aplikasi, asalkan tetap mengikuti ketentuan di bidang informasi dan transaksi elektronik.
Bila perusahaan angkutan umum, seperti taksi bekerja sama dengan perusahaan aplikasi, maka perusahaan aplikasi tidak boleh bertindak sebagai penyelenggara angkutan.
Ini artinya, perusahaan aplikasi tidak boleh mengatur tarif, merekrut pengemudi, dan menentukan besaran penghasilan pengemudi.
Perusahaan penyedia aplikasi juga diwajibkan memberi akses monitoring pelayanan, data seluruh perusahaan angkutan umum yang bekerja sama, data seluruh kendaraan dan pengemudi, dan alamat kantornya sendiri.
Sedangkan perusahaan aplikasi yang menyediakan jasa angkutan orang menggunakan kendaraan bermotor diwajibkan mengikuti ketentuan pengusahaan angkutan umum yang dimuat dalam Pasal 21, 22, dan 23 Permen No 32 tahun 2016. Ketentuan tersebut antara lain meminta perusahaan aplikasi mendirikan badan hukum Indonesia.
Bentuk badan hukum yang diakui adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, perseroan terbatas atau koperasi. Perusahaan aplikasi juga diminta untuk menyelenggarakan izin angkutan orang tidak dalam trayek.
Syaratnya antara lain mesti memiliki minimal lima kendaraan atas nama perusahaan, lulus uji berkala, memiliki pool dan bengkel, serta pengemudi harus memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).
Aturan tersebut berlaku efektif dalam waktu 6 bulan mendatang. Permen nomor 32 tahun 2016 disahkan pada Maret 2016 lalu, dengan demikian mulai berlaku pada September 2016. (
Baca juga:
Dilema Ridesharing)
Sedangkan terkait dengan aksi sejumlah pengojek online yang menuntut adanya payung hukum bagi profesinya, Hemi menegaskan moda roda dua tidak dianggap sebagai kendaraan umum dalam UU. “Kita lihat saja bagaimana perkembangannya (Ojek online). Kalau Kemenhub itu mengutamakan aspek keselamatan dan keamanan, khususnya untuk sarana angkutan umum,” pungkasnya. (
Baca juga:
Aturan Ridesharing mendesak)
Sekadar informasi, bisnis ridesharing mulai marak di Indonesia dan sempat menimbulkan kontroversi yang berujung demonstrasi besar-besaran oleh transportasi konvensional. (
Baca juga: Blokir ridesharing)
Saat ini pemain seperti Uber dan Grab tengah diberikan tenggat waktu hingga awal Juni 2016 untuk memenuhi semua regulasi. Sementara itu pemain baru terus bermunculan di roda empat seperti Go-Jek yang tengah menyiapkan Go-Car dan Uber yang ekspansi ke roda dua dengan UberMotor.(dn)