telkomsel halo

Interkoneksi jangan berubah menjadi numpang koneksi

08:42:05 | 02 Sep 2016
Interkoneksi jangan berubah menjadi numpang koneksi
Spanduk penolakan revisi biaya interkoneksi (dok)
JAKARTA (IndoTelko) – Pemerintah diingatkan untuk berhati-hati dalam menghitung ulang biaya interkoneksi yang akan menjadi referensi bagi operator dalam bernegosiasi karena jika salah bisa menimbulkan persaingan tak sehat di industri Halo-halo.

“Interkoneksi secara harafiah merupakan keterhubungan antarjaringan telekomunikasi secara fisik. Logikanya tak ada pihak yang merasa dirugikan ketika terjadi keterhubungan. Tetapi, kalau salah memberikan angka referensi yang terjadi bukan interkoneksi, tetapi numpang koneksi alias satu merasa untung, satu buntung,” ungkap Pengamat Telekomunikasi Mochamad James Falahudin di Jakarta, Jumat (2/9).

Menurutnya, hal yang wajar jika Telkom Group menolak hasil perhitungan dari pemerintah untuk biaya interkoneksi yang tercermin dalam Surat Edaran (SE) SE Nomor 1153/M.KOMINFO/PI.0204/08/2016 yang ditandatangani oleh Plt. Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Geryantika Kurnia dan dirilis pada 2 Agustus 2016.

“Telkom Group sudah investasi lama dan besar untuk bangun jaringan. Operator lain dikasih kesempatan sama untuk lakukan itu, kenapa tidak kerjakan hal yang sama? Tak bisa kita lihat sesuatu di ujungnya saja, lihat secara komprehensif dong,” katanya.

Menurutnya, potret persaingan di industri telekomunikasi sekarang adalah akibat dari perang harga yang dimulai 7-8 tahun lalu untuk rebutan akuisisi pelanggan.

“Dulu banting-bantingan  harga dengan harapan bisa menggaet cukup banyak pelanggan yang dalam jangka panjang akan mengembalikan uang yang dibakar untuk akuisisi itu. Sayangnya prediksi itu gak jadi kenyataan dan sepertinya sekarang investornya mulai lebih pelit untuk ngucurin duit. Sekarang muncul "kreativitas" untuk tetap bisa ekspansi dan survive dengan memanfaatkan celah regulasi. Jadinya terkesan maksa numpang koneksi judulnya,” sindirnya.      

Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi menegaskan, dalam interkoneksi tak boleh ada pihak yang mengambil keuntungan. “Kalau dilihat sekarang dengan biaya interkoneksi Rp 250 saja (biaya interkoneksi versi lama), itu ada yang ambil untung. Coba cek saja penawaran produk dan laporan keuangan operator itu,” ungkapnya.

Menggunakan referensi produk paket IM3 Freedom Basic dari Indosat dan paket Hotrod 4G dari XL, terlihat kedua operator hanya membayar Interkoneksi ke Telkomsel Rp250/menit, padahal  menjual panggilan lintas operator (off-net) bervariasi dari Rp 1.000/menit sampai Rp3.000/menit.

“Selama ini Telkomsel itu kelebihan bayar, tetapi kekurangan dibayar. Sampai kapan dibiarkan seperti ini.  Sudah terbukti selama ini siapa yang jaga kedaulatan digital Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dan kebetulan itu ada saham Merah-Putihnya, masa kita tak ada rasa nasionalisme sedikit dan dikelabui dengan jargon tarif murah pro rakyat padahal sudah untung dari disparitas biaya interkoneksi,” tegasnya. (Baca: vitamin Interkoneksi)

Diingatkannya, jika pemerintah tetap memaksakan penurunan biaya interkoneksi terlalu besar, akan terjadi nanti fenomena operator ogah membangun jaringan dan memilih menumpang di milik pemain lain. (Baca: Dampak biaya interkoneksi)

“Sementara cost recovery operator dominan tidak akan mencapai titik impas. Soalnya mereka menderita kerugian karena dibayar dibawah biaya produksi. Ini jangka panjangnya yang dirugikan pelanggan juga. Itulah yang diperjuangkan Telkom Group, mereka itu tetap ingin melayani rakyat Indonesia hingga pelosok. Semoga pemerintah paham ,” katanya.(Baca: Kisruh Interkoneksi)

Sebelumnya, Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Noor Iza melalui rilis resminya pada Kamis (1/9) menyatakan karena Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI) belum lengkap terkumpul maka biaya interkoneksi baru yang menjadikan penurunan 26% bagi 18 skenario panggilan seluler tak bisa dijalankan pada 1 September lalu. (Baca: Biaya interkoneksi ditunda)

GCG BUMN
Telkom dan Telkomsel dikabarkan belum memberikan DPI untuk dievaluasi oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Operator pelat merah ini tak menyerahkan DPI karena Kemenkominfo belum membalas sama sekali sejumlah surat keberatan yang dilayangkannya   atas penetapan biaya interkoneksi yang diumumkan 2 Agustus lalu.(id)

Ikuti terus perkembangan berita ini dalam topik
Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories