JAKARTA (IndoTelko) - Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC) mengingatkan pemilik platform media sosial (Medsos) untuk menjaga netralitasnya di tahun politik 2019 dimana akan digelar Pemilihan umum serentak untuk Presiden dan legislatif.
"Kita tidak mau yang terjadi seperti di Amerika Serikat atau Inggris dimana ternyata publik "terpukau" oleh informasi sesat dari media sosial ada di Indonesia di tahun politik 2019. Dua negara itu lumayan ketat mengatur platform medsos, bisa juga terjadi deviasi, apalagi Indonesia yang bisa dikatakan tak ada regulasi untuk medsos, ini bisa berbahaya bagi demokrasi jika platform yang dominan asing itu ikut mempengaruhi opini publik langsung atau tak tak langsung di tahun politik," ungkap Ketua Dewan Penasihat IDIEC Mochammad James Falahuddin di Jakarta, Selasa (11/12).
James menanggapi keluarnya laporan Tagar Kampanye yang banyak digunakan 2018 oleh Twitter Indonesia dimana menimbulkan perdebatan publik di dunia maya.
Dalam laporan Twitter, #2019TetapJokowi berada di nomor 5 sedangkan #2019PrabowoSandi ada di nomor 6.
Perdebatan di dunia maya menjadi seru karena analytic Drone Emprit menunjukkan selama periode 1 Januari 2018 hingga 5 Desember 2018 #2019GantiPresiden ternyata paling populer (6.624.656 mention). Posisi kedua #2019TetapJokowi (1.020.159 mention).#PrabowoSandi2019 berada di nomor 4 dengan 823.050 mention.
Menurut James, Twitter seperti menafikan adanya tagar #2019GantiPresiden karena tak membuka data secara transparan layaknya dilakukan Drone emprit.
"Twitter itu seperti "telling the truth but not whole truth". Ini indikasi yang terang benderang bahwa platfrom medsos asing sudah mulai memperlihatkan keberpihakan dalam kontestasi pemilihan presiden, menjadikan mereka bukan sekedar ancaman terhadap kedaulatan digital, tapi juga sudah menjadi ancaman terhadap demokrasi itu sendiri," tegasnya.
Disarankannya, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), serta Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk mengawasi secara ketat aksi platform medsos yang melakukan penggiringan opini publik agar pesta demokrasi tetap sehat, jujur,dan adil.
"Dalam aturan soal kampanye di Medsos yang dibuat lebih mengatur konten yang dibuat peserta, tetapi yang seperti dilakukan Twitter ini luput. Padahal yang berbahaya justru penggiringan opini karena pemilih milenial sangat percaya dengan medsos," sesalnya.
Sebelumnya, platform Youtube pun sempat dikecam oleh warganet karena terkesan memblokir sebagian konten live streaming dari aksi reuni akbar 212 di Monas pada (2/12) lalu.
Streaming berjudul Reuni Akbar Mujahid & Mujahidah 212 - 2 Desember 2018 sempat memunculkan text " Stream unavailable. Stream suspend for policy violations."
Saat diblokir, video tengah menayangkan pidato Rizieq Shihab, namun pada pukul 09.50 WIB, blokir dibuka kembali.(dn)