JAKARTA (IndoTelko) - Langkah pemerintah melalui Kementrian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (eCommerce) dianggap berpotensi mematikan usaha eCommerce di Indonesia.
"Kami menyesalkan atas terbitnya PMK-210 tanpa sosialisasi yang cukup dan dikhawatirkan dapat menghambat pertumbuhan UMKM. Untuk itu idEA bersama pelaku industri mengajak para pemangku kepentingan untuk mencari jalan tengah dalam proses implementasinya. Sehingga tidak mematikan potensi e-commerce sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia," kata Ketua Umum Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung kemarin.
Diingatkannya, platform marketplace dan eCommerce lainnya belakangan ini dianggap sebagai pembuka peluang bagi jutaan pelaku UMKM. Ini didasari oleh relatif minimnya resiko yang ditawarkan oleh platform eCommerce. (
Baca:
Pajak eCommerce)
Mulai dari tidak perlunya menyewa toko, minimnya pegawai, biaya promosi dan terukurnya upaya promosi yang relatif terjangkau, di samping antusiasme masyarakat untuk membeli dari platform online yang meningkat pesat. (
Baca:
Pajak Marketplace)
Fakta ini pun didukung oleh studi McKinsey yang menyatakan bahwa di tahun 2022 perdagangan online akan menciptakan 26 juta lapangan pekerjaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehari-hari kita merasakan transportasi online juga memberikan pilihan dan kesempatan baru bagi jutaan masyarakat untuk memiliki penghasilan rutin.
Mayoritas UMKM
Merujuk pada studi yang dilaksanakan oleh idEA pada 1765 pelaku UKM di 18 kota di Indonesia, 80% dari pelaku UMKM masih masuk kategori mikro, 15% masuk kategori kecil, dan hanya 5% yang sudah bisa dikatakan masuk usaha menengah.
Artinya, besar kemungkinan 80% dari pelaku UKM masih berjuang untuk bertahan, menguji model bisnis mereka, sebelum bisa membesarkan usahanya.
Pemberlakuan PMK-210 tentang pajak e-commerce bisa terlihat sebagai entry barrier (halangan), yang sama sekali tidak mempermudah perjuangan mereka dalam bertahan dan mengembangkan usaha, namun malah membebani mereka.
“Dari hasil studi idEA dan fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak dari antara pengusaha mikro yang masih pada level coba-coba. Belum tentu mereka bertahan dalam beberapa bulan ke depan, di mana prioritas mereka pada tahap ini adalah untuk membangun bisnis yang bertahan (sustain) dan mempertahankan konsistensi usaha, baru selanjutnya memiliki NPWP,” ungkapnya.
Untung mengkhawatirkan mereka memilih gulung tikar saja jika “dipaksa” untuk mengurus NPWP. Di sisi lain, keberadaan platform eCommerce lokal yang relatif taat aturan karena memenuhi segala persyaratan usaha yang ditetapkan pemerintah termasuk perlindungan konsumen bisa terancam oleh pemberlakuan PMK-210 ini.
Pemberlakuan PMK-210 pada platform marketplace yang semuanya mudah dikontrol akan mendorong pedagang untuk pindah berdagang melalui media sosial yang minim kontrol dan memang tidak diciptakan untuk melakukan transaksi. Berbagai permasalahan termasuk penipuan dan perlindungan konsumen pun dikhawatirkan akan meningkat.
Bahkan dari studi yang sama idEA menemukan bahwa 95% pelaku UMKM online masih berjualan di platform media sosial dan hanya 19% yang sudah menggunakan platform marketplace.
Fakta ini menunjukkan bahwa tanpa pemberlakuan PMK-210 pun platform marketplace sudah harus berjuang keras untuk bersaing di tengah perlakuan yang tidak sama dengan media sosial yang notabene minim kepatuhan. Jika kondisi ini terus berlanjut, dikhawatirkan platform eCommerce local akan kalah bersaing.
“Kalah bersaing karena kalah strategi, itu sudah menjadi resiko bisnis, tapi kalau kalah bersaing karena tidak adanya level playing field atau kesetaraan itu amat disayangkan. Padahal justru platform lokal mendorong peningkatan ekonomi ketimbang platform media sosial yang dimiliki asing,” tegasnya.
Mencari Keseimbangan
Diingatkannya lagi, ketika menghadiri ulang tahun salah satu pemain marketplace beberapa hari yang lalu Presiden RI Jokowi menyampaikan harapannya kepada platform eCommerce tanah air untuk mendigitalkan UMKM.
Pencapaian pemain eCommerce tanah air yang sudah berhasil mengajak jutaan UMKM ke ranah online diapresiasi sekaligus ditantang untuk bisa lebih jauh lagi. Di sisi lain kita pun sadar dan mengerti betapa pentingnya negara melalui Kementerian Keuangan untuk terus menggenjot pendapatan melalui pajak, di mana PMK-210 menjadi salah satu cara untuk mengejarnya.
idEA selaku asosiasi yang mewadahi seluruh pelaku industri eCommerce menyesalkan karena kedua target ini tampak kontradiktif satu dengan yang lainnya.
Pemberlakuan PMK-210 akan menggenjot nilai pajak dalam jangka pendek, namun seketika itu pula pemberlakuan PMK-210 tanpa pandang bulu juga diduga akan menyurutkan pengusaha UMKM terutama mereka yang masih berjuang untuk bertahan. Pada akhirnya, target jangka panjang untuk mendapat sumbangan pertumbuhan ekonomi dari UMKM dan online dikhawatirkan menjadi lebih berat.
“Untuk itu, mari kita bersama-sama mencari cara agar penerimaan pajak bisa tercapai tanpa mengorbankan harapan pertumbuhan ekonomi dari UMKM dalam jangka panjang. Dan untuk menemukan keseimbangan ini perlu kajian yang matang dan melibatkan semua pemangku kepentingan,” pinta Untung.
Diharapkannya, Kementerian Keuangan untuk menunda dan mengkaji ulang pemberlakuan PMK-210 ini sambil bersama-sama melakukan kajian untuk menemukan rumusan yang tepat dan tidak mengorbankan salah satu dari dua target pemerintah tersebut. Terlebih lagi karena PMK-210 ini diterbitkan dengan minimnya studi, uji publik, sosialisasi hingga kesepakatan akan tersedianya infrastruktur dan sistem untuk melakukan validasi NPWP seperti disebut dalam PMK-210 ini.
Sebelumnya, pada 31 Desember 2018, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati telah menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (eCommerce).
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan PMK-210 Secara substansi cukup moderat, karena lebih fokus pada pengaturan hak dan kewajiban yang bersifat umum, dan menekankan registrasi sebagai wajib pajak bagi para pedagang. Tidak ada jenis pajak baru, sehingga kewajiban yang ada terkait PPh, PPh Final PP 23, dan PPN (bagi yang memenuhi syarat).
"Kunci keberhasilan PMK ini salah satunya ada pada pemilik platform, yang akan menjadi tulang punggung pemastian pedagang memiliki NPWP sebelum mendaftar di sebuah platform. Untuk itu sosialisasi, koordinasi, dan pengawasan harus betul-betul bagus," sarannya.
Hasil penelitian dari CITA menyatakan potensi PPh final dari transaksi eCommerce bisa mencapai Rp342 miliar dengan asumsi nilai transaksi pada tiga marketplace besar Rp68,4 triliun pada 2017.(id)