JAKARTA (IndoTelko) - Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan pengaturan dalam Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dibutuhkan sebagai batasan pemanfaatan ruang dan platform digital.
Menurut Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika hal itu akan membuat ruang digital dalam negeri akan dipenuhi oleh hal-hal yang bersifat produktif sehingga membuat kondisi dunia maya lebih kondusif.
"Kita menuju digital nation yang membutuhkan regulasi sebagai batasan-batasan. Acuan para penggunanya dalam bijak menggunakan ruang digital. Dengan begitu, setiap pengguna dunia maya dapat saling menjaga kondusifitas ketika melakukan berbagai kegiatan digital," ujarnya.
Keberadaan regulasi akan memberikan jaminan hukum kepada setiap para pengguna ruang digital. Sehingga, potensi terjadinya kejahatan siber dapat dicegah secara signifikan melalui pasal-pasal yang termaktub dalam perundangan tersebut. "Kita siapkan supaya masyarakatnya ini dalam beraktivitas di ruang digital mereka bisa lebih produktif," jelas Dirjen Semuel.
Regulasi juga dapat digunakan sebagai upaya literasi yang dilakukan oleh pemerintah ketika masyarakat sedang berselancar dunia maya. Mengingat, kegiatan literasi dapat mencakup berbagai hal yang salah satunya adalah pelaksanaan regulasi yang berkaitan ruang digital.
"Program kami di Kominfo adalah bagaimana melakukan literasi masyarakat supaya mereka siap," kata Dirjen Aptika.
Menurut Dirjen Semuel, terdapat banyak ancaman yang bisa dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab kepada pengguna ruang digital. Di antaranya, penipuan, tindakan radikalisme, informasi hoaks, dan ujaran kebencian.
Dirjen Aptika optimistis, regulasi UU ITE akan membuat ruang digital semakin bermanfaat bagi kehidupan masyarakat ke depan. Sehingga, banyak potensi-potensi dapat dikembangkan melalui dunia maya yang dapat berdampak positif terhadap kesejahteraan dari para penggunanya.
"Masyarakat dengan adanya perkembangan aplikasi ini bisa beraktivitas yang bermanfaat. Karena itu, semua perlu bersatu dengan regulasi tersebut," tuturnya.
Pedoman
Sementara Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate menyatakan pedoman pelaksanaan untuk mengkaji kriteria implementatif dan rumusan substansi atas Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi (UU ITE), bukanlah sebuah norma hukum yang baru di Indonesia.
“Pedoman tersebut bukan norma hukum baru, tetapi acuan bagi aparat penegak hukum dengan poin-poin diantaranya yang pertama adalah pelaksanannya dilakukan secara selektif. Yang kedua mengambil langkah-langkah mediasi sebelum berperkara,” ujarnya.
Menurut Menteri Johnny, acuan lainnya ketika ada kasus yang diteruskan proses perkara di ranah hukum, maka tentu akan dilihat seberapa luas potensi atau dampak terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan.
“Kalau itu (kasus hukum pelanggaran UU ITE) diteruskan ada dampak jera atau tidak, jangan sampai sengketa-sengketa antar lintas personal yang kecil menjadi isu besar, dan menjadi masalah di dalam kehidupan demokrasi dan kebebasan kita, khususnya bagi masyarakat kecil,” jelasnya.
Menteri Kominfo menegaskan bahwa tim kajian yang telah dibentuk akan melakukan telaah megenai diperlukan untuk revisi UU ITE.
“Walaupun UU ITE ini sudah sekitar 10 kali judicial review ke Mahkamah Konstitusi, dan hasilnya Mahkamah Konstitusi menolak judicial review. Atau kata lainnya, Undang-Undang ITE ini sesuai dengan konstitusi kita yakni UUD 1945,” ujarnya.
Menurut Menteri Johnny setiap penambahan, perbaikan maupun perubahan untuk penyempurnaan UU ITE akan terus ditelaah. Jika sesuai dengan relevansi kehidupan sosial kemasyarakatan, wacana revisi selalu dimungkinkan.
“Dalam kaitan itu, tim akan bekerja untuk melihat agar penambahan atau perubahan dan kebaikan itu untuk penyempurnaan dapat dilakukan, relevan dengan situasi kita,” tandasnya.(ak)