JAKARTA (IndoTelko) - PT Lombok Nuansa Televisi (Lombok TV) melakukan uji materiil Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (PP Postelsiar) ke Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) karena diangggap bertentangan dengan sejumlah undang-undang (UU).
Lombok TV melalui kantor hukum Gede Aditya & Partners menyampaikan pada Kamis, (28/4) telah mengajukan Permohonan Uji Materiil terhadap PP Postelsiar karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli), Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (“UU Pelayanan Publik”), dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP).
Dijelaskan salah satu kuasa hukum Gede Aditya Pratama, S.H., LL.M., PP No. 46/2021 telah mengatur sebuah kewajiban baru yang sama sekali tidak diatur di UU Penyiaran dan UU Cipta Kerja yaitu soal kewajiban bagi Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang tidak ditetapkan sebagai Penyelenggara Multipleksing untuk menyewa Slot Multipleksing kepada LPS yang ditetapkan sebagai Penyelenggara Multipleksing (LPS Multipleksing).
“UU Penyiaran dan UU Cipta Kerja hanya mengatur soal migrasi teknologi penyiaran, analog switch off (ASO) dan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Oleh karena adanya pertentangan yang ditimbulkan dari PP No. 46/2021 tersebut, Klien kami yaitu PT Lombok Nuansa Televisi (Lombok TV) sangat dirugikan karena Izin Stasiun Radio (ISR) dan Izin Prinsip Penyiaran (IPP) dari Lombok TV menjadi tidak berarti di mana Lombok TV menjadi harus menyewa Slot Multipleksing untuk menyelenggarakan layanan program siaran,” katanya.
Ditambahkannya, PP No. 46/2021 juga telah menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yang berupa penguasaan Spektrum Frekuensi Radio yang seharusnya dikuasai oleh negara menjadi dikuasai oleh segelintir LPS Multipleksing. Dengan kata lain PP No. 46/2021, telah menciptakan iklim usaha industri penyiaran menjadi tidak kondusif dan diskriminatif terhadap para penyelenggara televisi lokal.
Selain itu, PP No. 46/2021 juga telah mengalihkan peran negara dalam pelayanan publik dengan mengalihkan penyediaan alat bantu penerima siaran (set-top-box) bagi rumah tangga miskin kepada pihak swasta yaitu LPS Multipleksing. Migrasi teknologi penyiaran televisi dari analog ke digital sebagaimana diketahui bersama adalah inisiatif dari Pemerintah RI melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, oleh sebab itu, sudah sepatutnya penyediaan alat bantu penerima siaran (set-top-box) bagi rumah tangga miskin menjadi tanggung jawab negara.
Menurutnya, PP No. 46/2021 dari pembentukannya juga tidak luput dari masalah. UU PPP menyatakan bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya, yang maksudnya bahwa penetapan Peraturan Pemerintah adalah untuk melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan. Namun, sebagaimana sudah dijelaskan di poin-poin sebelumnya, materi muatan PP No. 46/2021 menyimpang dari Undang-Undang acuannya, yaitu antara lain UU Penyiaran dan UU Cipta Kerja.
“Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kami berkeyakinan bahwa Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia akan dapat mewujudkan keadilan demi terciptanya iklim usaha industri penyiaran yang kondusif dan sehat bagi semua pihak dengan mengabulkan permohonan uji materiil yang kami ajukan ini,” tutupnya.(ak)