Kala palu godam pailit diketukkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat medio September lalu, banyak kalangan kebat-kebit dengan nasib dari penguasa seluler nasional, Telkomsel.
Kala itu, banyak pihak memprediksi Telkomsel akan susah ekspansi dan menumbuhkan pendapatannya karena usai putusan pailit dikeluarkan, biasanya satu perusahaan di bawah kendali Kurator yang ditunjuk pengadilan.
Belum lagi biaya-biaya yang harus dikeluarkan perseroan untuk restrukturisasi hutang dan membayar kurator yang kabarnya mencapai Rp 1 triliun.
Namun, kenyataan berbicara lain. Para diler resmi Telkomsel menyiratkan masih terjadi pertumbuhan penjualan dari produk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu usai putusan pailit dikeluarkan walau hanya single digit.
Direktur Utama Telkomsel Alex J Sinaga saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI di Jakarta, Senin (8/10), menegaskan, kasus yang dihadapinya tidak menganggu kinerja dan layanan yang diselenggarakan perusahaan.
“Pendapatan Telkomsel selama September 2012 menunjukkan peningkatan, atau mencapai angka tertinggi sepanjang sejarah perusahaan. Saat ini pelanggan Telkomsel sudah menembus 120 juta, dan diperkirakan mencapai sekitar 130 juta hingga akhir tahun 2012, “ ungkapnya.
Ditegaskan Pria yang akrab dipanggil AJS ini, walau dalam keadaan pailit, perseroan akan mengupayakan menyerap secara maksimal belanja modal 2012 yang dialokasikan sebesar Rp 9.6 triliun untuk investasi dan pengembangan layanan.
“Operasional layanan sejauh ini tidak terganggu walau ada putusan pailit. Pembangunan BTS dalam sebulan itu ribuan,”katanya.
Optimistis Menang
Berkaitan dengan perjuangan hukum yang tengah dijalankan perseroan di Mahkamah Agung, (MA), Alex menegaskan, optimistis memenangkan kasus tersebut di tingkat pailit.
“Kami telah mengevaluasi materi memori kasasi yang diajukan, baik oleh Telkomsel atau PT Prima Jaya Informatika (PJI). Kiita sudah minta pendapat dari beberapa pengacara ternama di Indonesia. Dari situ kami meyakini Telkomsel akan memang di tingkat kasasi nanti,” tegasnya.
Dijelaskannya, langkah yang dilakukan Telkomsel sejalan dengan ketidakpuasan terhadap keputusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, sehingga memberi ruang untuk melakukan kasasi.
“Kasasi yang diajukan Telkomsel pada posisi yang bagus, sementara banyak kontra memori yang diajukan pihak lawan tidak banyak ditanggapi MA, terutama terkait penetapan purchase order (PO) yang dianggap menjadi utang Telkomsel,” katanya.
Seperti diketahui, pada Jumat (14/9), Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin Hakim Ketua Agus Iskandar, memutuskan bahwa Telkomsel pailit atas permohonan oleh PT Prima Jaya Informatika, distributor voucher isi ulang Kartu Prima.
Telkomsel dan Prima Jaya memulai kerja sama pada 1 Juni 2011 sampai batas waktu Juni 2013 dengan komitmen awal Telkomsel menyediakan voucher isi ulang bertema khusus olahraga.
Namun kemitraan ini menimbulkan kasus, sejak Juni 2012 Telkomsel setelah memutuskan kontrak karena menilai Prima Jaya tidak memenuhi aturan yang dipersyaratkan.
Prima Jaya pun mengajukan permohonan pailit, karena menganggap sisa kontrak yang diputus tersebut senilai 5,3 miliar rupiah sebagai utang Telkomsel.
Namun Alex menegaskan, bahwa penghentian pengiriman produk kartu perdana dan voucher untuk Yayasan Olahragawan Indonesia (YOI) tersebut karena Prima Jaya belum melunasi pembayaran sebesar 4,8 miliar rupiah kepada Telkomsel.
“Prima Jaya belum membayar produk yang dialokasikan, sehingga Telkomsel memutuskan untuk menghentikan pengiriman produk,” ujarnya.
Mafia Hukum
Sementara itu, Anggota Komisi XI Edwin Kawilarang menduga ada mafia hukum yang bermain pada kasus pailit Telkomsel.
“Kasus ini konyol karena merupakan kerja mafia pengadilan. Sesuai Undang-Undang minimal ada dua kreditur yang mengajukan gugatan, tapi kenyataannya mereka yang mengajukan gugatan bukan kreditur,” tegasnya.
Diduganya , mafia yang mempailitkan Telkomsel melibatkan hakim dan dilanjutkan dengan permainan yang akan dilancarkan para kurator.
“Sebagai orang yang pernah menjalani bisnis, saya sangat merasakan betapa kasus ini sangat tidak adil bagi perusahaan. Bagaimana mungkin, Telkomsel bisa dinyatakan pailit oleh hakim, tetapi tidak mempertimbangkan berbagai aspek dari perusahaan, seperti aset triliunan rupiah dan bersengketa soal pesanan kartu voucher, dimana syarat-syarat pailit tidak terpenuhi,” katanya.
Edwin menyesalkan langkah direksi Telkomsel yang bermitra dengan PJI karena kurang kredibel. “Bahkan kurang terkenal di kalangan kementerian olahraga. Kalau ingin bermitra, carilah mitra yang benar,” tegasnya
Lindungi Aset
Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Aziz meminta Telkom dan Telkomsel berjuang maksimal di tingkat kasasi agar keluar dari putusan pailit.
“Kalau mereka gagal, dan MA tetap mempailitkan masih ada proses satu lagi, Peninjauan Kembali (PK). Kalau itu masih gagal baru kita evaluasi kinerja direksi Telkom,” tegasnya.
Harry meminta semua komponen di pemerintahan memiliki perhatian khusus terhadap kasus yang menimpa Telkomsel. Pasalnya, jika dibiarkan, terdapat potensi negara kehilangan Rp 4 triliun apabila Telkomsel dinyatakan pailit.
Angka ini muncul dari kalkulasi kontribusi Telkomsel kepada Telkom sebesar 75% atau sekitar Rp 120 triliun.
Jika keuntungan yang dimiliki Telkomsel sekitar Rp 12 triliun sampai Rp 13 triliun maka 30% bisa dimasukan ke dalam dividen atau sekitar Rp 4 triliun menyumbang ke dividen negara.
“Ini belum termasuk pajak, tenaga kerja itu sekitar 5 juta yang mereka terbuka peluangnya oleh Telkomsel. Jika itu hilang atau dipailitkan itu negara kan kehilangan satu hal yang paling besar,” katanya.
Sedangkan Anggota Komisi XI lainnya Maruarar Sirait menegaskan, tidak relevan jika kinerja direksi Telkom dan Telkomsel diukur dari upaya hukum untuk lepas dari pailit.
“Itu tidak fair karena yang membuat perjanjian kerjasama adalah direksi lama. Jika mau menilai dilihat operasionalnya. Keputusan berhenti bekerjasama itu sudah tepat karena memang sudah tidak sesuai dengan kesepakatan kerjasama yang disepakati,” tegasnya.(id)