JAKARTA (IndoTelko) – Para pemangku kepentingan di Indonesia yang bergerak di bidang e-health harus mulai membuka sekat-sekat yang membatasi ruang gerak agar inovasi ini bisa dinikmati semua masyarakat.
“Implementasi E-Health di Indonesia butuh interperobilitas dan arsitektur agar bisa berjalan sesuai dengan target yang ditetapkan para pemangku kepentingan,” ungkap Ketua e-Indonesia Initiatives Forum Prof. Suhono Harso Supangkat usai menjadi pembicara di Konferensi e-health nasional di Jakarta, Kamis (5/6).
Menurutnya, interoperabilitas itu penting untuk e-health karena sifat dari Teknologi Informasi (TI) di kesehatan sangat perlu keterhubungan. “Kalau tidak, ya tidak bisa komunikasi. Tidak bisa understanding secara nyata,"jelasnya.
Diungkapkannya, saat ini implementasi e-health masih ada sekat-sekat antar pemain sehingga tidak efisien. "Ini juga alasan kita dorong ada arsitektur yang jelas untuk e-health ini. Kita tahu kendalanya banyak untuk membuat arsitektur, tetapi ini harus dijalankan karena merupakan satu keniscayaan," katanya.
Dikatakannya,jika ada arsitektur dari e-health, akan terlihat ada kejelasan hubungan antar komponen di stakeholder, teknologi, people, dan process.
Diakuinya, banyak inisiatif terkait pembangunan e-health baik yang personal, mobile hingga berbasis web tengah dikembangkan pelaku usaha, tetapi persoalannya referensi dan interoperabilitas tetap akan jadi isu utama agar inisisasi-inisiasi bisa berjalan lebih efisien, efektif dan murah.
Lebih lanjut ditambahkannya diperlukannya dibuat suatu fokus grup dari stake holder kesehatan untuk membangun strategi nasional pembangunan e-health secara terkoordinatif.
Forum ini nanti akan mengusulkan suatu strategi, peta jalan e-health nasional sehingga menjadi lebih mudah untuk diikuti stakeholder dan ada kejelasan arah pembangunan.
"Bisnis model, cloud computing untuk kesehatan juga menjadi pointer penting dalam menuju ke sistem layanan beroreintasi pasien. Tidak ketinggalan pembangunan kesehatan berbasis teknologi harus diperhatikan untuk membantu di daerah masyarakat kurang mampu,"pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Komunikasi Indonesia (MIKTI) Indra Utoyo mengakui pasar e-health di Indonesia masih terfragmentasi. “Indonesia memiliki anggaran kesehatan yang lumayan besar yakni sekitar Rp 25 triliun tahun. Tetapi belum ada skema yang jelas alokasi untuk e-health. Pemerintah baru berencana membuat roadmap,” katanya.
Belum lama ini, Telkom
mencoba menerobos sekat-sekat tersebut dengan merintis layanan clearing house bagi transaksi kesehatan melalui produk Paperless Claim.(id)