Presiden Prabowo Subianto telah mengesahkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) pada 28 Maret 2025.
Peraturan ini bertujuan untuk melindungi anak-anak Indonesia dari risiko dan ancaman di ruang digital, memastikan mereka dapat tumbuh dalam lingkungan yang aman dan sehat.
Langkah Presiden Prabowo Subianto mengesahkan beleid ini patut diapresiasi. Di tengah lonjakan penetrasi internet dan semakin mudahnya akses anak terhadap ruang digital, negara memang dituntut hadir, bukan hanya sebagai regulator, tapi juga sebagai pelindung.
Namun, sebagaimana banyak regulasi digital di Indonesia sebelumnya, PP Tunas juga menyimpan sejumlah tantangan krusial dalam implementasinya.
Semangatnya sangat jelas: melindungi anak dari konten yang merugikan, mencegah adiksi, melarang profiling untuk kepentingan komersial, serta mewajibkan edukasi digital oleh penyelenggara sistem elektronik (PSE).
Tapi pertanyaan mendasarnya adalah, apakah ekosistem digital kita sudah siap mengeksekusi semua itu secara utuh dan konsisten?
Salah satu tantangan terbesar terletak pada aspek verifikasi usia pengguna. Tanpa sistem identitas digital atau mekanisme age verification yang kuat dan terstandarisasi, batas usia hanyalah ilusi. Anak-anak tetap bisa membuat akun media sosial dengan mudah, dan platform pun kerap lepas tangan dengan hanya menambahkan disclaimer “pengguna harus berusia minimal 13 tahun.”
Di sisi lain, parental consent atau persetujuan orang tua juga belum memiliki sistem verifikasi legal yang mapan.
Kemudian soal edukasi digital. Kita tahu bahwa tingkat literasi digital masyarakat Indonesia masih sangat bervariasi. Di satu sisi, PP Tunas mewajibkan platform memberikan edukasi kepada anak dan orang tua. Tapi apa jaminannya bahwa konten edukasi itu akan diakses, dipahami, dan berdampak nyata? Edukasi digital tidak bisa mengandalkan user click, tapi membutuhkan pendekatan partisipatif yang melibatkan sekolah, komunitas, dan keluarga.
Menarik untuk melihat bagaimana Australia menjalankan pendekatan serupa namun dengan lebih terstruktur. Negara itu membentuk eSafety Commissioner, lembaga independen dengan mandat jelas untuk mengawasi, menegakkan, dan mengedukasi publik terkait keamanan digital anak. Lembaga ini bukan hanya regulator pasif, tetapi juga aktif mengintervensi—misalnya memerintahkan penghapusan konten berbahaya atau memediasi aduan publik.
Indonesia melalui PP Tunas juga berencana membentuk lembaga semacam ini, namun masa transisinya dua tahun, dengan semua fungsi dijalankan sementara oleh Kementerian Komunikasi dan Digital. Pertanyaannya: apakah satu kementerian sanggup menjadi regulator, pengawas, sekaligus pendidik digital dalam waktu bersamaan, dengan sumber daya yang terbatas?
Bagi pelaku industri digital, PP Tunas adalah sinyal penting: era internet tanpa tanggung jawab sosial mulai berakhir. Platform harus bertransformasi dari sekadar penyedia layanan menjadi mitra dalam perlindungan anak. Tapi negara juga tak bisa hanya mengandalkan regulasi. Dibutuhkan dukungan infrastruktur digital yang memadai, kemitraan dengan sektor swasta, serta pelibatan masyarakat sipil dalam proses pengawasan.
Agar PP Tunas tidak menjadi dokumen normatif belaka, beberapa langkah strategis bisa ditempuh yakni percepat pembangunan kerangka digital ID dan verifikasi usia yang andal. Libatkan ekosistem pendidikan dan komunitas digital dalam menyusun modul edukasi anak dan orang tua. Prioritaskan pembentukan lembaga pengawas independen dengan fungsi lintas sektor dan otoritas memadai. Terakhir, dorong partisipasi publik dalam proses penyusunan kebijakan turunannya agar lebih adaptif dan kontekstual.
Menjaga tunas bangsa di dunia maya tak cukup dengan larangan dan sanksi. Anak-anak butuh pendampingan, platform butuh insentif untuk berubah, dan negara perlu menghadirkan regulasi yang tidak hanya preskriptif, tapi juga transformatif.
@IndoTelko