telkomsel halo

Drama kapitalisme digital

05:50:00 | 16 Mar 2025
Drama kapitalisme digital
Presiden RI Prabowo Subianto meminta perusahaan transportasi online seperti Gojek dan Grab untuk memberikan Bonus Hari Raya (BHR) kepada para pengemudi ojek online (ojol) dan kurir online.

"Tahun ini pemerintah menaruh perhatian khusus pada pengemudi dan kurir online yang telah memberikan kontribusi penting dan mendukung layanan transportasi dan logistik di Indonesia. Untuk itu pemerintah mengimbau kepada seluruh perusahaan layanan transportasi aplikasi untuk memberi Bonus Hari Raya dalam bentuk uang tunai dengan mempertimbangkan keaktifan pekerja," kata Prabowo di Istana Negara, Senin (10/3).

Instruksi presiden ini ditindaklanjuti dengan keluarnya Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor M/3/HK.04.00/III/2025 tentang Pemberian Bonus Hari Raya Keagamaan Tahun 2025 bagi Pengemudi dan Kurir pada Layanan Angkutan Berbasis Aplikasi. Disebutkan para pengemudi dan kurir online mendapatkan bonus dalam rangka Hari Raya Idul Fitri dan bukan Tunjangan Hari Raya (THR).

Berdasarkan SE Nomor M/3/HK.04.00/III/2025, BHR diberikan oleh perusahaan kepada seluruh pengemudi dan kurir online yang terdaftar secara resmi.

Meski demikian, terdapat kriteria tertentu yang ditetapkan bagi penerima BHR tersebut. Pengemudi dan kurir online yang berhak mendapatkan BHR yakni mereka yang produktif dan berkinerja baik.

Pemberian BHR diberikan secara proporsional sesuai kinerja dalam bentuk uang tunai. Perhitungannya sebesar 20% dari rata-rata pendapatan bersih bulanan selama 12 bulan terakhir.

"Bagi pengemudi dan kurir online yang produktif dan berkinerja baik, Bonus Hari Raya Keagamaan diberikan secara proporsional sesuai kinerja dalam bentuk uang tunai dengan perhitungan sebesar 20% (dua puluh persen) dari rata-rata pendapatan bersih bulanan selama 12 (dua belas) bulan terakhir," keterangan dalam SE Kemnaker tersebut dikutip pada Rabu (12/3).

Bagi pengemudi dan kurir online di luar kategori yang disebutkan sebelumnya tetap diberikan BHR sesuai kemampuan perusahaan aplikasi.

Disebutkan dalam SE Menaker 2025 tersebut, BHR bagi pengemudi dan kurir online diberikan paling lambat 7 hari sebelum Hari Raya Idul Fitri 2025.

"Bonus Hari Raya Keagamaan diberikan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Idul Fitri 1446 H," tulis SE Menaker 2025.

Berdasarkan Kalender Hijriah 2025 terbitan Kementerian Agama RI, Idul Fitri diperkirakan jatuh pada 31 Maret atau 1 April 2025. Dengan demikian, BHR sudah harus diberikan paling lambat 7 hari sebelum tanggal tersebut yakni Senin, 24 Maret atau Selasa, 25 Maret 2025.

Pemerintah mengimbau perusahaan aplikasi agar memberikan BHR kepada pengemudi ojol lebih awal sebelum batas akhir waktu pemberiannya.

Berdasarkan survei Kementerian Perhubungan pada 2019, pengemudi Grab mendapatkan penghasilan bulanan Rp 4 sampai 4,5 juta. Sementara, Maxim mendapatkan Rp 5-6 juta per bulan dan Gojek sebesar Rp 3 Juta atau lebih per bulannya.

Berdasarkan data tersebut, taksiran besaran BHR Ojol 2025:
Pengemudi Grab
Rata-rata pendapatan bulanan: Rp 4 juta hingga Rp 4,5 juta
Perkiraan BHR (20%): Rp 800 hingga 900 ribu

Pengemudi Maxim
Rata-rata pendapatan bulanan: Rp5 juta hingga Rp6 juta
Perkiraan BHR (20%): Rp 1 Juta hingga 1,2 Juta

Pengemudi Gojek
Rata-rata pendapatan bulanan: Rp3 juta atau lebih
Perkiraan BHR (20%): Rp 600 ribu atau lebih

Data rata-rata penghasilan di atas merupakan hasil survei 2019. Jumlah pastinya tahun ini ditentukan rata-rata pendapatan ojol dalam 12 bulan terakhir.

Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mengkritik skema ini sebagai diskriminatif, karena pada dasarnya THR dalam dunia ketenagakerjaan adalah hak yang diberikan kepada pekerja tanpa syarat produktivitas. Namun, di industri ride-hailing, pengemudi terus diposisikan sebagai “mitra” untuk menghindari kewajiban layaknya karyawan.

Sementara Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia atau Modantara menilai SE tidak mengejawantahkan imbauan Presiden dengan tepat bahwa BHR diberikan dengan melihat kemampuan finansial perusahaan. Persentase 20% ini ditentukan sepihak dan sangat memberatkan bagi sebagian besar platform. Terutama tanpa kejelasan definisi apa yang dimaksud “pendapatan bersih”, ketentuan ini justru bisa menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian dalam implementasinya. Seharusnya, pemerintah tidak perlu mendikte besaran persentase, melainkan cukup menyerahkan kepada perusahaan sesuai kemampuan finansial mengingat setiap platform memiliki bisnis model dan struktur biaya operasional yang berbeda-beda.

Modentara mencatat bahwa beberapa aplikator telah memberikan tanggapan terkait imbauan ini dengan mempertimbangkan aspek operasional dan model kemitraan yang diterapkan. Sebagian aplikator menyatakan akan mengevaluasi mekanisme pemberian insentif tambahan atau bentuk dukungan lain yang dapat membantu mitra, namun ada juga yang menyatakan ketidakmampuan finansial untuk menuruti kebijakan ini.

Modantara menegaskan bahwa surat edaran maupun imbauan tersebut bukanlah regulasi yang mengikat secara hukum. Pemberian BHR tidak dapat dipaksakan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan usaha. Pemerintah tentunya tidak dapat memaksa perusahaan swasta yang merugi untuk memberikan bonus karena jika perusahaan tersebut pailit nantinya Pemerintah pun tidak dapat memberikan suntikan bantuan. Jika pun memberi bonus, itu sudah merupakan suatu itikad baik yang perlu diapresiasi berapapun angkanya. Maka setiap perusahaan berhak menentukan kriteria produktivitas dalam mempertimbangkan pemberian bonus ini.

Modantara juga menyoroti tuntutan agar status mitra diangkat menjadi pekerja tetap adalah narasi yang menyesatkan dan tidak mempertimbangkan realitas industri. Perlu dipahami, menjadi pekerja tidak serta merta hanya memperoleh hak namun juga datang dengan pemenuhan kewajiban dan persyaratan kerja layaknya pekerja industri formal. Hal ini karena kemampuan perusahaan menyerap tenaga kerja akan menjadi sangat terbatas. Jika kebijakan tersebut diterapkan, maka jutaan mitra yang selama ini menikmati fleksibilitas, akan kehilangan sumber pendapatan alternatif mereka. Para ibu tunggal, mahasiswa yang mencari penghasilan tambahan, atau bahkan korban PHK akan kehilangan kesempatan berusaha yang ditawarkan oleh platform.

Jika tetap dipaksakan, maka skenario terburuknya dan sudah ada banyak contoh di negara lain. Di Swiss, jumlah pengemudi Uber Eats turun 67% setelah putusan pengadilan. Di Spanyol, Glovo hanya mempertahankan 17% mitranya, Uber memberhentikan 4.000 mitra, dan Deliveroo keluar dari pasar. Di Inggris, keputusan Mahkamah Agung membuat jumlah pengemudi Uber berkurang 85.000 orang. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan serupa perlu dipertimbangkan dengan sangat hati-hati agar tidak membatasi kesempatan kerja bagi jutaan mitra.

Mendasar
Perbedaan mendasar antara BHR dan THR adalah aspek kewajibannya. THR, sesuai Permenaker 6/2016, adalah pendapatan non-upah yang wajib dibayar tunai oleh pengusaha kepada pekerja, dengan jumlah satu bulan upah bagi yang bekerja minimal setahun. Jika tidak dibayar, ada sanksi tegas mulai dari denda 5% hingga pembekuan usaha.

Sebaliknya, BHR hanya bersifat imbauan dan aplikator dapat menentukan besarannya sendiri. Dengan jumlah pengemudi ojol dan kurir aktif mencapai 250 ribu orang, memberikan THR layaknya pekerja formal akan membutuhkan dana sekitar Rp1,3 triliun hanya untuk wilayah Jakarta. Dengan model bisnis yang terus berorientasi pada efisiensi biaya, sulit membayangkan aplikator rela mengalokasikan anggaran sebesar itu.

Sementara pengemudi harus memperjuangkan hak mereka, aplikator seperti Gojek dan Grab tetap dalam pola bisnis yang seolah merugi secara finansial tetapi tetap bernilai tinggi bagi pemegang sahamnya.

Laporan keuangan GOTO 2024 yang baru dirilis menunjukkan bahwa meskipun kerugian tahunan tampak menurun dari Rp90,5 triliun pada 2023 menjadi Rp5,4 triliun pada 2024, arus kas operasional tetap negatif. Penyusutan ini bukan karena perbaikan bisnis, melainkan akibat impairment goodwill—yakni penghapusan nilai aset tak berwujud yang sebelumnya membengkak akibat merger Gojek-Tokopedia.

Trik akuntansi ini menciptakan ilusi bahwa kerugian berkurang, padahal secara fundamental bisnisnya belum menghasilkan keuntungan nyata. Bahkan, sejak IPO, harga saham GOTO terus merosot, menandakan investor semakin skeptis terhadap keberlanjutan bisnis ini.

Jika perusahaan terus melaporkan kerugian tetapi tetap bertahan, pertanyaannya: siapa yang sebenarnya menikmati manfaat dari model bisnis ini?

Pada 2021, merger Gojek-Tokopedia menciptakan goodwill senilai Rp93,84 triliun, seolah-olah perusahaan memiliki aset besar. Namun, dalam dua tahun terakhir, nilai itu terus menyusut hingga kini tersisa hanya Rp370 miliar. Di sisi lain, ada indikasi bahwa pemegang saham besar, termasuk investor awal dan konglomerat di balik aplikator ini, sudah menikmati keuntungan dari valuasi yang tinggi sebelum harga saham anjlok.

Kini, dengan kondisi keuangan yang semakin sulit, ada spekulasi bahwa mereka bisa mencari cara lain untuk bertahan—mulai dari menambah utang, menerbitkan saham baru, hingga melobi masuk ke ekosistem BUMN melalui Danantara.

Skema BHR hanyalah tambal sulam dari persoalan yang lebih mendasar: status hukum pengemudi ojol yang tidak jelas. Selama mereka tetap diposisikan sebagai mitra, hak-hak ketenagakerjaan mereka akan selalu bergantung pada kebijakan aplikator, bukan regulasi negara.

Indonesia dapat belajar dari Singapura yang telah menetapkan pengemudi ride-hailing sebagai pekerja mandiri dengan perlindungan sosial tertentu, seperti asuransi dan dana pensiun. Model ini bisa menjadi jalan tengah antara fleksibilitas kerja dan jaminan kesejahteraan.

Jika regulasi tidak segera diperbaiki, polemik seperti THR ini akan terus berulang setiap tahun, sementara aplikator tetap bermain dalam sistem yang menguntungkan mereka dan merugikan pengemudi. Pertanyaannya, apakah pemerintah benar-benar berani menantang status quo? Ataukah ini akan berakhir seperti skema kapitalisme digital lainnya—di mana rugi hanyalah ilusi, dan yang kalah selalu pihak yang paling rentan?

GCG BUMN
@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories