Akhirnya konsolidasi XL Axiata dan Smartfren mulai menunjukkan kepastian.
PT XL Axiata Tbk. (EXCL), PT Smartfren Telecom Tbk. (FREN) dan PT Smart Telecom (ST) sepakat melakukan konsolidasi dimana XL akan menjadi entitas yang menerima penggabungan. Dalam prospektus merger yang dipublikasikan Rabu (11/12), terungkap XL akan menjadi perusahaan yang menerima penggabungan dan Smartfren dan Smart Telecom akan dibubarkan berdasarkan hukum setelah penyelesaian penggabungan.
Sebagai perusahaan yang menerima penggabungan, XL akan mengubah nama perusahaannya menjadi PT XL Smart Telecom Sejahtera Tbk. (EXCL). Prosedur merger itu telah disepakati oleh XL, Smartfren, ST, Axiata Investments, Stellar, PT Gerbangmas Tunggal Sejahtera, PT Sinar Mas Tunggal, dan Anchor melalui penandatanganan Perjanjian Penggabungan Bersyarat pada 10 Desember 2024. Stellar merupakan pemegang saham Sinar Mas dengan Franky O. Widjaja sebagai penerima manfaat akhir.
Konversi saham Smartfren dan ST menjadi saham EXCL akan dihitung dengan rasio sebesar 1,000/ 0,011/ 0,005 berdasarkan nilai transaksi yang dinegosiasikan dan ditentukan antara para pihak dan menggunakan nilai ekuitas masing-masing per 30 September 2024.
Nilai tersebut diperoleh dengan menerapkan kelipatan berdasarkan kinerja pasar terhadap EBITDA historis 12 bulan terakhir yang telah disesuaikan dikurangi dengan utang bersih masing-masing XL, Smartfren, dan ST.
Harga saham penggabungan XL disepakati Rp2.350 per saham. Setelah konversi saham dalam rangka merger dan transaksi penyetaraan, Stellar sebagai pemegang saham Smartfren dan ST akan memiliki 34,8% saham XL. Sementara itu, kepemilikan saham Axiata Investment terdilusi menjadi sebanyak 34,8% saham XL.
XL juga menggelar buyback bagi investor minoritas yang menentang merger tersebut dengan nilai pembelian kembali Rp2.350 per saham.
Lebih lanjut, pembentukan perusahaan yang menerima penggabungan diharapkan menghasilkan efisiensi operasional, efisiensi ekonomi, dan pengurangan biaya. Selain itu, merger diharapkan memperkuat strategi bisnis secara keseluruhan dan mamperkuat struktur permodalan. Aksi korporasi diharapkan memberikan kesempatan untuk menciptakan nilai yang signifikan bagi kedua perusahaan, pemegang saham masing-masing, pelanggan, dan semua pemangku kepentingan yang terlibat.
Pada saat selesainya transaksi, pemerataan kepemilikan saham akan menghasilkan Axiata menerima hingga senilai US$475 juta. Setelah transaksi ditutup, Axiata akan menerima US$400 juta, beserta tambahan US$75 juta pada akhir tahun pertama, tergantung pada pemenuhan syarat-syarat tertentu.
XLSmart akan memanfaatkan jaringan, keahlian, dan sumber daya dari para pemegang saham untuk mempercepat transformasi digital di Indonesia.
Nilai gabungan perusahaan XLSmart pra-sinergi lebih dari Rp104 triliun atau sekitar US$6,5 miliar. Adapun, pendapatan proforma diproyeksikan menyentuh lebih dari Rp45,4 triliun atau sekitar US$2,8 miliar dengan EBITDA lebih dari Rp22,4 triliun atau sekitar US$1,4 miliar.
Sementara untuk komposisi manajemen PT XLSmart Telecom Sejahtera Tbk. akan diumumkan dalam 3-4 minggu mendatang. Nominasi jajaran direksi akan berasal dari kedua belah pihak, yaitu dari Grup Sinarmas dan dari Grup Axiata dengan komposisi 50:50.
Sedangkan untuk nasib karyawan, manajemen XL memastikan tidak ada pemberhentian karyawan atau pemutusan hubungan kerja (PHK) agar masa transisi lancar dalam proses penggabungan.
Dalam proses merger ini, CIMB dan J.P. Morgan bertindak sebagai penasihat keuangan untuk entitas tertentu di bawah Sinar Mas. Sementara Deutsche Bank dan Maybank bertindak sebagai penasihat keuangan untuk Axiata, dan Citibank bertindak sebagai penasihat keuangan untuk XL Axiata.
Terkait dengan kepemilikan frekuensi, sinyal yang dilempar adalah entitas baru nantinya tetap ingin menguasainya yakni sebesar 152 MHz. Kendati demikian, jumlah ini belum final dan bisa berkurang karena harus melalui perhitungan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
XLSmart saat ini diperkirakan memiliki spektrum frekuensi total sebesar 152 MHz untuk melayani 94,5 juta pelanggan di Tanah Air. Spektrum frekuensi tersebut merupakan gabungan dari 90 MHz milik XL Axiata (15 MHz/900 MHz, 45 MHz/1800 MHz, dan 30 MHz/2100 MHz) dan 62 MHz milik Smartfren (22 MHz/850 MHz dan 40 MHz/ 2300 MHz).
Dalam catatan, sebenarnya kedua operator ini sudah pernah menjalani konsolidasi. XL Axiata sudah berkonsolidasi dengan Axis Telecom pada 2013, dimana saat itu diikuti juga dengan pengembalian frekuensi. Hal yang sama juga terjadi pada Smart Telecom dengan Mobile-8 Telecom yang menghasilkan Smartfren Telecom.
Melihat dari skema merger yang dilakukan XL Axiata dan Smartfren, sebenarnya mirip yang dilakukan Indosat dengan Tri beberapa tahun lalu.
Dalam skema merger antara XL Axiata dan Smartfren, penukaran 94 saham Smartfren menjadi 1 saham XL Axiata menunjukkan adanya penggabungan dengan rasio saham yang merefleksikan nilai masing-masing perusahaan.
Sayangnya, kemunculan XLSmart belum akan mampu menggoyang dominasi Telkomsel dan Indosat. Ketika Indosat-Tri berkonsolidasi kala itu keduanya menjelma menjadi pemain nomor dua dari sisi pelanggan. Sementara XLSmart diperkirakan tetap berada di posisi ketiga.
Hal yang harus diwaspadai adalah berkurangnya jumlah pemain utama di industri seluler berpotensi meningkatkan konsentrasi pasar. Jika tidak diatur dengan baik, ini bisa mengurangi pilihan layanan bagi pengguna dan mempengaruhi tarif jangka panjang.
Apalagi, dari konsolidasi yang terjadi selama ini tidak ada pemasukan langsung bagi negara kecuali jika pemerintah memutuskan untuk menarik kembali dan melelang ulang spektrum frekuensi yang saat ini dimiliki kedua operator.
Hal yang pasti, di masa transisi pengguna kedua operator mungkin mengalami gangguan layanan sementara selama proses integrasi sistem jaringan kedua perusahaan.
Disinilah kita berharap pemerintah harus memastikan agar konsolidasi ini tidak merugikan konsumen dan tetap mendorong persaingan sehat di industri. Kebijakan terkait penggunaan frekuensi akan memegang peran penting dalam menentukan dampak keseluruhan dari merger ini bagi negara dan pengguna.
Jangan sampai pemerintah terlena dengan alasan “efisiensi” dan “inovasi” hingga lupa menjalankan “transformasi digital berkeadilan” dimana harusnya dalam aksi korporasi sebesar ini semua (negara, pengguna, dan pelaku usaha) menerima manfaatnya.
@IndoTelko