JAKARTA (IndoTelko) – Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengungkapkan sejauh ini belum ada keputusan terkait nasib pemberlakuan pajak terhadap pelaku usaha eCommerce karena masih dibahas di kalangan internal pemerintah.
“Belum ada keputusan soal pajak eCommerce itu. Wong, sekarang masih dibahas jenis pajak apa yang akan dikenakan,” ungkap Pria yang akrab disapa RA itu usai pemaparan Rencana Strategis Kemenkominfo di Jakarta, Senin (13/4).
Dijelaskannya, pemerintah sedang mengkaji insentif bagi eCommerce di Indonesia agar 10 tahun mendatang bisa berkontribusi sekitar 8% bagi total perdagangan nasional.
“Nah, kalau konteksnya insentif itu bisa saja salah satunya keringanan fiskal. Bentuk keringanan fiskal mana yang dibuat itu sedang dikaji oleh Badan Kebijakan Fiskal,” katanya.
Ditambahkannya, berbicara eCommerce tak melulu hanya soal pajak, tetapi juga ekosistem. Misal, soal pembayaran dimana dibutuhkan payment gateway nasional, infrastruktur logistik, iklim investasi, dan lainnya.
“Kalau kami di Kominfo itu konsen menyediakan infrastruktur internet cepat dan teknis Teknologi Informasinya. Ini alasan road map itu melibatkan banyak pihak, karena ini punya pemerintah secara keseluruhan,” pungkasnya.
Sebelumnya, tim yang dibentuk pemerintah untuk membahas road map eCommerce yang akan dikeluarkan Agustus mendatang sudah melakukan rapat pertama pada pekan lalu.
Beberapa instansi yang terlibat diantaranya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan Badan Ekonomi Kreatif (BEK).
Asosiasi eCommerce Indonesia (iDEA) sudah memberikan usulan terkait keluarnya surat edaran Ditjen No SE-62/PJ/2013 dan SE-06/PJ/2015. Dalam surat itu pemerintah menyatakan akan mengenakan pajak atas transaksi di online marketplace, classified ads, daily deals dan online retail.
Usulan iDEA adalah, Pertama, perlunya penegasan dari Dirjen Pajak bahwa perlakuan transaksi penjualan online retail/eceran sama dengan transaksi penjualan eceran. Sehingga perlakuan atas Faktur Pajak Penjualan Online Retail dapat menggunakan Faktur Pajak yang dilaporkan secara gunggungan sesuai dengan pasal 6.b pada SE No 98/2010.
Penerapan Peraturan Pemerintah (PP) No 46/2013 yang mewajibkan pajak penghasilan ke pebisnis e-commerce yang memiliki omzet dibawah Rp 4,8 miliar per tahun direkomendasikan idEA untuk tidak diberlakukan. Begitupula PPh 23 dibebaskan bagi e-commerce yang berdiri di bawah 5 tahun.
Kedua, tidak perlunya ada pemeriksaan oleh Dirjen Pajak bagi perusahaan Startup e-commerce yang berdiri di bawah 5 tahun dan masih merugi. Penjual yang memiliki NPWP turut pula dibebaskan selama 3 tahun awal. Barulah setelah 3 tahun, penjual individu bisa memilih apakah ingin menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau memakai aturan PP No 46/2013 dimana dikenakan pajak 1%.
Ketiga, idEA juga meminta pemerintah melakukan sosialisasi kewajiban mengeluarkan Faktur Pajak bagi penjual individu di situs merketplace. Serta perlu membuat database NPWP yang dapat diakses (melalui web service atau API) oleh penyelenggara transaksi online untuk kebutuhan verivikasi penjual.
Terakhir, idEA mengharapkan pemerintah melakukan edukasi untuk pemain e-commerce dalam menetapkan peraturan sesuai dengan model bisnis agar tidak salah dan mematikan industri e-commerce yang baru berkembang. Pemerintah diminta makin mempertegas aturan wajib pembuatan badan hukum bagi pemain e-commerce asing yang berbisnis di Indonesia.
Rudiantara kala menerima usulan memberikan sinyal menunda penerapan pungutan pajak bagi eCommerce, setidaknya pemberlakuan tidak di tahun ini. Analogi yang digunakan RA adalah PPn di jalan tol yang wacana sudah berjalan lama tetapi eksekusi baru kemungkinan dilaksanakan tahun ini.
Di Indonesia sendiri saat ini terdapat 73 juta pengguna aktif internet dimana 7% yang terbiasa dengan eCommerce. Nilai transaksi pada 2014 sebesar US$ 12 miliar dan 2016 diperkirakan mencapai US$ 24 miliar.(dn)