JAKARTA (IndoTelko) – Pemerintah belum tertarik untuk mengatur aplikasi perpesanan yang dilansir sejumlah operator di era 4G.
“Saya tahu ada beberapa operator melansir aplikasi perpesanan yang mirip dengan WhatsApp atau Line di era 4G. Tetapi, kalau masih berjalan di jaringan data, kita belum atur. Soalnya ini kreatifitas yang berjalan di atas data, sama dengan pemain aplikasi seperti WhatsApp itu,” ungkap Menkominfo Rudiantara, kemarin.
Seperti diketahui, menyambut era 4G sejumlah operator melansir aplikasi perpesanan yang mampu mengirimkan komunikasi pesan, panggilan suara, panggilan video, berbagi lokasi, hingga berbagi dokumen dalam ukuran besar.
XL akan melansir XLRCS, Bolt! telah hadir dengan Bolt!Talk. Sementara Telkomsel akan menggelar VoLTE dengan Huawei. Hal yang menarik adalah dari aplikasi perpesanan milik operator adanya virtual number yang memungkinkan dilakukan panggilan suara walau masih sesama pengguna. Para operator ada rencana menjadikan panggilan itu menjadi lintas operator ke depannya. (
Baca juga:
Bolt!Talk dari Bolt)
Pemain Over The Top (OTT) pun tak tinggal diam dengan aksi operator dengan memodifikasi layanan lebih bisa beradaptasi dengan jaringan yang ringan bandwidth. Aksi ini telah dilakukan WhatsApp dan Line.
WhatsApp membuat update terbaru yang dapat menghemat pulsa dengan adanya pilihan panggilan suara tanpa mengurangi banyak data (low-data usage calling). (
Baca juga:
XL RCS dari XL)
Salah Kaprah
Lebih lanjut Pria yang akrab disapa RA itu menjelaskan terjadi salah kaprah di masyarakat terhadap fitur suara dari aplikasi perpesanan yang dianggap sebagai gratis.
“Anda nelpon pakai WhatsApp itu kan kuota data berkurang. Itu artinya bayar. Kalau panggilan lokal, ngapain pakai WhatsApp, telpon biasa saja, lebih murah. Apalagi besok biaya interkoneksi kita koreksi,” katanya.
Ditambahkannya, di dunia belum ada aturan soal interkoneksi di jasa data sehingga akan sulit mengatur aplikasi perpesanan kala berjalan di lintas operator. “Saya rasa metodenya sekarang sender keep all (SKA) seperti SMS jaman dulu,” tutupnya.
Secara terpisah, Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi Kresna berencana mengkaji aturan soal tata cara penetapan tarif layanan data pada tahun 2016.
Dijelaskannya, tata cara ini hanya menetapkan formula komponen apa saja yang perlu dihitung perusahaan telekomunikasi saat konsumen memakai layanan Internet. Arahnya akan seperti formula pentarifan layanan teleponi dasar meliputi telepon (voice) dan pesan teks (SMS). Jika cara penetapan tarif Internet telah dibuat, diharapkan bisa meminimalkan kesenjangan tarif.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Alexander Rusli mengakui adanya rebalancing tarif data agar bisa menjaga kualitas layanan dan reinvestasi untuk teknologi. “Tarif data di Indonesia ini harus disehatkan kembali. Sekarang sekitar Rp 0,05 per Kb,” katanya. (
Baca juga:
Tarif data perlu dikoreksi)
Namun, di tengah upaya menyehatkan tarif data, konsumen berteriak lain. Hal itu terlihat dari Petisi online bertajuk "Internet Untuk Rakyat: Save @Telkomsel @KemenBUMN @kemkominfo" yang telah mendapatkan lebih dari lima ribu dukungan.
Petisi ini mengkritik keras kebijakan zonanisasi pentarifan layanan data dari Telkomsel yang membuat pengguna di luar Pulau Jawa membayar lebih mahal dibandingkan Pulau Jawa.(dn)