JAKARTA (IndoTelko) – Kisruh penetapan revisi biaya interkoneksi yang dimulai sejak 2 Agustus 2016 belum tuntas juga.
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengaku telah menggarap Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI) yang disetor Telkom dan Telkomsel. (
Baca:
Polemik Interkoneksi)
Hasilnya, regulator mengirimkan surat tanggapan ke operator pelat merah tersebut yang meminta Telkom dan Telkomsel untuk memperbaiki DPI yang dikirimkan pada medio September lalu. (
Baca:
Kisruh Interkoneksi)
Nah, terbaru giliran Telkom dan Telkomsel yang membalas surat dari BRTI. “Mereka sudah kirim tanggapan atas surat permintaan dari BRTI untuk memperbaiki DPI-nya. Saat ini sedang kami evaluasi, dan dalam waktu 10 hari kerja sejak tanggal 6 Oktober 2016, BRTI akan memberikan tanggapan,” ungkap Anggota Komisioner BRTI I Ketut Prihadi Kresna kepada IndoTelko melalui pesan singkat, Selasa (11/10).
Dikatakannya, jika BRTI berpendapat bahwa DPI dari Telkom dan Telkomsel belum sesuai, maka dalam 10 hari kerja berikutnya BRTI dapat menetapkan DPI dari Telkom dan Telkomsel. “Jika mereka menolak, mereka dapat melakukan upaya hukum seperti mengajukan gugatan ke PTUN,” tutupnya.
Merujuk kepada permintaan BRTI, tentunya Telkom dan Telkomsel diminta membuat DPI mengacu pada Surat Edaran (SE) No. 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016, tanggal 2 Agustus 2016, tentang Implementasi Biaya Interkoneksi Tahun 2016 yang secara rerata biaya interkoneksi turun 26% bagi 18 skenario panggilan untuk jasa seluler
Dalam surat edaran itu memuat acuan biaya interkoneksi terbaru untuk panggilan lokal seluler sebesar Rp204 per menit dari Rp250 per menit.
DPI merupakan dokumen berisi acuan kerjasama interkoneksi antara satu operator dengan yang lainnya. Dokumen ini disusun oleh semua operator dengan merujuk pada Dokumen Petunjuk Penyusunan DPI (P2DPI) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 Tahun 2006 tentang interkoneksi.
Hasil perhitungan biaya interkoneksi ini menjadi referensi bagi penyelenggara telekomunikasi (lokal dan selular) untuk diterapkan di sistem dan jaringan serta Point of Interconnection (PoI) di operator tersebut.
Penyusunan DPI mengacu kepada angka biaya interkoneksi yang dikeluarkan Kementrian Komunikasi dan Informatika.
Belum tuntasnya perhitungan biaya interkoneksi tak meredakan tensi persaingan di industri seluler. Lihat saja aksi XL Axiata yang menawarkan "Kartu Perdana" khusus bagi pelanggan di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi dengan spesial benefit berupa tarif menelepon ke semua operator, hanya Rp 59/menit.
Anak usaha Axiata itu mengikuti jejak dari Indosat Ooredoo di luar Jawa yang ingin menggoyang pasar Telkomsel dengan skema Rp 1 per detik untuk panggilan semua operator. (
Baca: Perang tarif di luar Jawa)
Melihat skema tarif yang mirip-mirip dari kedua pemain dalam mengepung Telkomsel di luar Jawa, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga terjadi price fixing untuk menjatuhkan Telkomsel melalui persaingan usaha yang tidak sehat.(dn)