JAKARTA (IndoTelko) – Selama Ramadan lalu banyak peristiwa lumayan mengejutkan di industri eCommerce nasional.
Mulai dari ditutupnya Cipika.co.id oleh Indosat, akuisisi Tiket.com oleh Blibli, hingga berubahnya model bisnis dari Alfacart dimana sebelumnya bermain marketplace menjadi platform penunjang bisnis bagi Alfamart.
Gonjang-ganjing selama sebulan belakangan memunculkan kekhawatiran bahwa eCommerce di tanah air tak semegah kalkulasi banyak lembaga riset. (
baca:
Penutupan Cipika)
Dalam peta jalan versi pemerintah, dipasang cita-cita setinggi langit untuk bisnis eCommerce. Pada 2020 bisnis dagang online ini diprediksi pemerintah akan memiliki valuasi US$130 miliar. Melihat peristiwa sebulan belakang ini, apakah pemerintah tetap optimistis dengan asanya?
“Kalau startup itu rasio sukses hanya 3%-4%. Jadi, wajar tumbuh cepat, mati cepat juga. Kecuali kalau sudah menjadi unicorn (valuasi US$ 1 miliar), daya tahannya lebih lama,” ungkap Menkominfo Rudiantara, belum lama ini.
Pria yang akrab disapa RA ini mengaku tak ragu dengan potensi dari eCommerce mendukung ekonomi digital di masa depan. “Masalah ada yang berubah dan lainnya itu dinamika. Hal yang penting itu kita perhatikan perlindungan ke pelanggan dan mitranya,” katanya.
RA pun mendorong adanya self regulasi dari industri agar bisnis eCommerce terus berkembang. “Industri yang paling tahu bisnis proses dan lainnya. Kita hanya kasih guideline. Pokoknya jangan sampai konsumen dirugikan karena perubahan dari strategi korporasi startup itu,” tukasnya.
Alamiah
Sementara Ketua Umum Asosiasi eCommerce Indonesia (idEA) Aulia E Marinto menilai hal yang terjadi di industri eCommerce sekarang adalah sesuatu yang alamiah dari proses untuk terbentuknya suatu "industri" yang mature dan kelak bermanfaat luas.
“Bahwa ada pemain yang "mundur/istirahat/membuat pilihan-pilihan " itu sangat wajar dan lumrah karena semuanya masih mencari bentuk yang fit sambil terus berinovasi berusaha menjadi pemenang,” katanya.
Dikatakannya, setelah lebih kurang 5 tahun, mulai terjadi konsolidasi di market dan kemungkinan masih akan terjadi dalam 5 tahun ke depan.
Peristiwa sama pernah terjadi di industri selular beberapa tahun lalu. Kelak fintech sebagai subset industri eCommerce akan begitu juga. Hal yang terpenting adalah tidak terjadi misleading dalam memahami bahwa potensi atau tidaknya industri hanya ditentukan oleh beberapa pemain yang bahkan di antaranya ada yang belum melakukan effort maksimal atau karena kekeliruan memahami pasar sehingga keliru mengambil strategi penetrasi.
“Ibarat pepatah kalau tak bisa menari jangan lantai dibilang rusak. Sampai saat ini tidak satupun data yang menunjukkan potensi industri eCommerce Indonesia mengecil,” tukasnya.
Sedangkan Pengamat teknologi informasi Heru Sutadi menilai selama tidak ada pemain dominan di eCommerce maka kondisi merugi di semua pemain pasti terjadi, terutama di segmen marketplace.
“Sekarang pemain marketplace itu subsidi. Mulai dari datangkan trafik hingga terjadi transaksi bahkan pengiriman barang. Kalau lihat kasus di luar negeri, eCommerce itu bisa net profit disaat pendapatan per kapita menembus angka $5500,” ulasnya.
(Baca:
Konsolidasi eCommerce)
Diungkapkannya, saat ini GDP per kapita Indonesia masih US$4000 dan belum ada industri yang bisa mendongkrak GDP per kapita menyentuh $5500. (
Baca:
Gelembung eCommerce)
“Perkiraan angka US$5500 untuk Indonesia di tahun 2020. Ini berarti hingga tahun 2020 marketplace di Indonesia masih berdarah. Paling nanti hanya tersisa tiga marketplace melewati tahun 2020. Mirip kan dengan seluler sekarang,” pungkasnya.(id)