JAKARTA (IndoTelko) – Aksi pemerintah yang melakukan pemblokiran terhadap aplikasi perpesanan Telegram dianggap sebagai langkah mundur dari pemerintah, ketika belum adanya kejelasan mengenai regulasi layanan tentang Over The Top (OTT).
“IDC mendukung penuh upaya pemerintah Indonesia untuk melindungi keamanan nasionalnya, tetapi dengan pemblokiran tersebut jelas menunjukkan langkah mundur dari pemerintah, ketika belum adanya kejelasan mengenai regulasi layanan OTT,” ujar Associate Market Analyst dari IDC Indonesia Risky Febrian dalam keterangannya, kemarin.
Mengutip pernyataan Menkominfo Rudiantara, bahwa penyedia layanan OTT harus sepenuhnya berkomitmen untuk memberikan perlindungan konsumen, dan memenuhi aspek hukum serta fiskal, namun masih belum jelas mengenai bagaimana penyedia layanan OTT harus memenuhi persyaratan tersebut. Dari perkembangan permasalahan ini, terlihat jelas bahwa tidak adanya komunikasi konstan antara pemerintah dan Telegram sebelum keputusan untuk pemblokiran layanannya.
“Tidak adanya kantor perwakilan Telegram di Indonesia turut berkontribusi terhadap buruknya proses komunikasi antara kedua pihak. Namun di sisi lain, tidak ada regulasi yang mengatur bahwa penyedia layanan OTT harus membuka kantor perwakilan di Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini, penyedia layanan OTT biasanya membangun kerjasama dengan perusahaan telekomunikasi lokal untuk bertindak sebagai perwakilan mereka di Indonesia. Sebagai contoh adalah Spotify dan Netflix, dimana mereka bekerjasama dengan Telkom dan Indosat Ooredoo untuk mengelola layanan dan hubungan dengan konsumen di Indonesia,” ulasnya.
Dari sudut pandang konsumen, Bot dan Kanal Telegram merupakan fitur yang populer di Indonesia dan banyak dari konsumen memanfaatkan fitur tersebut untuk mendukung aktifitas finansial mereka, dikarenakan fitur tersebut menyediakan keamanan dan privasi tingkat tinggi dengan enkripsi khusus Telegram.
Namun demikian, fitur tersebut terbukti rentan akan penyalahgunaan, seperti pernyataan pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwa alasan dibalik pemblokiran Telegram adalah karena fitur tersebut digunakan untuk pergerakan teroris dalam berkomunikasi dan merencanakan strategi mereka.
Langkah pertama untuk menyelesaikan permasalah ini adalah pemerintah perlu memberikan langkah yang jelas untuk mencegah adanya kesalahpahaman di masa mendatang dengan penyedia layanan OTT.
Langkah berikutnya, Telegram dan pemerintah harus dapat membentuk komunikasi yang baik di antara mereka. Telegram dapat mengikuti langkah Netflix atau Spotify dengan membangun kerjasama dengan perusahaan telekomunikasi untuk bertindak sebagai perwakilan mereka, jika Telegram memilih opsi untuk tidak membuka kantor perwakilan langsung di Indonesia.
Setelah semua permasalah itu dapat terselesaikan, Telegram dan pemerintah dapat mulai bekerja bersama untuk membangun skema yang tepat untuk mencegah penyalahgunaan fitur Telegram di masa mendatang, termasuk mendukung langkah Telegram untuk mengembangkan tim moderator yang dikhususkan untuk moderasi konten-konten Indonesia.
Research Manager IDC Indonesia Mevira Munindra menyarankan pemerintah juga dapat mempertimbangkan untuk membentuk badan independen yang bertindak sebagai dewan penasihat dan memiliki kapabilitas untuk merencanakan dan memonitor keseluruhan adopsi ICT di Indonesia.
Sebagai contoh dapat dilihat dari langkah pemerintah Singapura dalam pembentukan badan GovTech, yang fungsinya membangun platform kunci dan solusi yang dibutuhkan untuk mendukung perkembangan ICT Singapura. Lebih jauh lagi, pembentukan badan independen ini harus dapat menyokong dan menstimulasi pertumbuhan adoptasi ICT di Indonesia.(wn)