JAKARTA (IndoTelko) – Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) diminta untuk tidak berlaku otoriter dalam melakukan pemblokiran konten di dunia maya karena bertentangan dengan azas demokrasi.
“Kalau dibaca revisi Undang-undang ITE Pasal 40 yang menjadi tameng dari Kominfo untuk melakukan pemblokiran itu butuh didetailkan. Tak bisa dengan modal kalimat “melanggar aturan” terus Anda berubah menjadi eksekutif dan yudikatif sekaligus. Kita ini trias politika bung,” sungut Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII) Kamilov Sagala di Jakarta, Selasa (25/7).
Menurutnya, di dalam negara demokrasi dimanapun, tidak ada intervensi baik lembaga maupun aturannya karena masing-masing mandiri agar terjadi check and balance. “Kalau eksekutif merambah tugas-tugas yudikatif, negara bisa menuju otoriter bukan lagi demokrasi,” tegasnya. (
Baca:
Beradab dalam blokir)
Diingatkannya, cara paling beradab dalam melakukan sebuah pemblokiran konten di dunia maya melalui penetapan pengadilan. “Sesuatu hal yang membawa konsekuensi hak dan kewajiban warganegara yang dilanggar dan diambil oleh siapapu, lembaga yang berhak memberi keputusan dalam hal ini pengadilan. Apabila sengketa itu merugikan para pihak dan harus diatur di setiap per UU bukan kewenangan para pembuat UU,” jelsnya.
Seperti diketahui, Kominfo berencana akan merevisi aturan teknis untuk sensor konten negatif di dunia maya.
Selama ini untuk sensor atau pemblokiran konten di dunia maya, aturan teknis yang menjadi andalan adalah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet bermuatan Negatif.
Kominfo pun percaya diri dengan mantra “Pemblokiran” karena mendapat dukungan dari revisi Undang-undang ITE di Pasal 40 ayat 2 A dan 2 B.
Dalam revisi UU ITE yang disahkan 27 Oktober 2016, peran pemerintah diperkuat. Tujuannya adalah memberi perlindungan dari segala gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik. Kewenangan tambahan itu disisipkan dalam Pasal 40.
Di pasal 40 ayat 2a. dinyatakan Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memilki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.
Di ayat 2. B dinyatakan dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2a, pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum.
Bertentangan
Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengakui jika merujuk ke Pasal 40 ayat 2A di Revisi UU ITE memang pemerintah wajib mencegah penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik yang memiliki muatan dilarang, dimana pencegahan itu memberikan pemerintah wewenang untuk melakukan pemutusan akses atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk memutuskan akses
Namun, perlu diperhatikan juga bahwa UU ITE tidak boleh berlawanan dengan UUD 1945 Pasal 28 Huruf F dimana setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
“Artinya apa, karena Indonesia juga negara demokrasi, pemerintah tidak bisa sewenang-wenang mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan publik. Sebab, pemblokiran sepihak artinya menutup saluran masyarakat utk berkomunikasi, dan perlu diperjelas dan didiskusikan muatan yang dilarang dalam hal ini apa. Sebab, istilah teror tidak dikenal dalam UU ITE. Atau seperti disebutkan, adanya ancaman pembunuhan terhadap Ahok? Kalau soal itu bukan teror, masuk ke pidana biasa atau bahkan ke isu politik,” tukas Heru.
Dikatakannya, Standard Operating Prosedur (SOP) atau mekanisme penutupan akses selama ini tidak ada.
“Ada Permenkominfo tapi itu sebelum Revisi UU ITE baru diketok palu jadi tidak bisa dipakai, harus buat Permenkominfobaru dan mewajibkan pemerintah melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan, dengan adanya mekanisme peringatan 1, 2 dan seterusnya sebelum memblokir. Harusnya ada mekanisme, misal menggugat keputusan pemerintah ke pengadilan, ada keputusan memblokir harus lewat pengadilan,” tukasnya.
Disarankannya, agar jelas mengenai Pasal 40 ayat 2a dan 2b ini bisa diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. “Sebab ada potensi berlawanan dengan UUD 1945,” tutupnya.(id)