JAKARTA (IndoTelko) - Pemanfaatan teknologi digital dapat mendorong industri nasional lebih berdaya saing di kancah global dengan menghasilkan produk yang berkualitas, aman dan sesuai standar.
Apalagi, dalam era Industri 4.0 yang fokus menerapkan penggunaan internet sebagai penopang utama pada proses produksi.
“Pemerintah memproyeksikan Indonesia akan menjadi negara ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada tahun 2020 dengan menargetkan 1.000 technopreneur, valuasi bisnis mencapai US$100 miliar, dan total nilai eCommerce sebesar US$130 miliar,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pada acara Breakfast Meeting dengan Financial Services and Fintech Delegation Mission US-Indonesia Investment Initiative 2017 AmCham Indonesia di Jakarta, Jumat (15/9).
Airlangga menyebutkan, pertumbuhan eCommerce juga bergantung pada penetrasi e-payment dan infrastruktur. “Platform pembayaran yang terkait dengan retailer seperti Alipay, Gopay, dan Paypal mendorong adopsi penggunaan pembayaran digital,” ujarnya.
Untuk itu, Kementerian Perindustrian tidak hanya mengajak kepada pelaku usaha skala besar, tetapi juga industri kecil dan menengah (IKM) agar menangkap peluang dalam pengembangan digital seperti kemajuan tenologi artificial intelligent, robotic, dan 3D printing. Sejumlah manufaktur besar telah siap memasuki era Industry 4.0, di antaranya industri semen, petrokimia, otomotif, serta makanan dan minuman.
“Kemenperin pun mendorong lingkungan digital ini untuk meningkatkan pertumbuhan IKM di dalam negeri. Kami memformulasikan digital environment dengan melibatkan market place, perusahaan logistik, dan Fintech,” paparnya.
Saat ini, lanjut Airlangga, Kemenperin telah membangun Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) yang diintegrasikan dengan sistem digital yaitu e-Smart IKM. Program ini diyakini mampu memperluas pasar produk lokal di dunia online. “Kami mengidentifikasi beberapa IKM yang sudah memanfaatkan market place, seperti sektor makanan dan minuman, perhiasan, kosmetik, fesyen serta kerajinan,” tuturnya.
Menperin menjelaskan, pemerintah Indonesia juga sudah meyiapkan infrastruktur untuk mendukung kegiatan pengembangan ekonomi digital. “Salah satu bentuk nyata adalah pembangunan Nongsa Digital Park (NDP) di Batam,” ungkapnya.
Kawasan ini akan menjadi basis sejumlah pelaku industri kreatif di bidang digital seperti pengembangan startup, web, aplikasi, program-program digital, film dan animasi.
Negara produktif
Airlangga menyampaikan, berdasarkan hasil studi AT Kearney, pengembangan teknologi dan inovasi akan menguatkan daya saing Indonesia dalam upaya menjadi negara yang produktif di masa depan. Dalam hal ini, kekuatan Indonesia terlihat dari penetrasi internet dan pemakaian ponsel.
“Potensi pengembangan tersebut bisa melalui universitas yang berafiliasi sebagai inkubator, industri manufaktur dengan teknologi tinggi dan menengah, intensitas riset, jumlah peneliti,” jelasnya.
Di samping itu, diperlukan pula pengembangan sumber daya manusia (SDM). “Kemenperin telah bekerja sama dengan Tsinghua University Beijing untuk pengembangan SDM dengan pelatihan trainer dan inkubator,” imbuhnya. Kemudian, dibutuhkan skema perdagangan dan iklim investasi global yang mendukung, kebijakan pemerintah, dan daya beli masyarakat.
Pada acara tersebut, dihadiri beberapa pelaku usaha Amerika Serikat, antara lain perwakilan dari A&P Global Ratings, Visa, Uber, RGA Reinsurance Company, Google, IBM, Mastercard, MetLife, Chubb Insurance, Chubb Life, dan Transunion.
Di antara mereka ada yang menyatakan minat kerja sama, misalnya pihak Google mengusulkan sistem mentoring untuk program penumbuhan wirausaha. Menperin menyambut baik upaya tersebut, seperti halnya kerja sama perusahaan dengan universitas yang dilakukan oleh Apple.
“Pengembangan SDM merupakan program prioritas pemerintah Indonesia, karena banyak potensi masyarakat menjadi wirausaha,” ucap Airlangga.
Selanjutnya, dari pihak Visa tertarik dalam pengembangan startup, yang akan difasilitasi Kemenperin untuk mengembangkan IKM di dalam negeri yang memiliki potensi pasar 250 juta konsumen domestik dan 600 juta penduduk ASEAN.
“Marketplace asing yang mau masuk sebagai fintech, harus kerja sama dengan marketplace lokal,” tegasnya.(wn)