JAKARTA (IndoTelko) – Banjirnya produk impor di platform eCommerce menjadi sorotan banyak pihak, tak terkecuali orang nomor satu di negeri ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kala membuka Rapat Kementrian Perdagangan (31/1), Jokowi meminta untuk pemeriksaan lebih dekat barang impor yang dijual dengan marak melalui platform eCommerce.
"Jangan sampai terjadi karena pengawasan longgar, pasar yang baru dibuka di Indonesia menjual 100% barang impor," katanya.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita membenarkan adanya market place yang menjual 90% produk impor.
Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) mencatat hanya 6-7% kontribusi produk lokal di semua listing marketplace di Indonesia.
Bahkan, dari total transaksi eCommerce makanan, 90% masih didominasi produk pangan impor, dan hanya sekitar 10% saja yang merupakan produk buatan dalam negeri. (
Baca: Produk impor)
Rencananya, pemerintah akan membatasi penjualan produk impor maksimal 20% di toko online layaknya aturan di toko offline.
Di offline telah berlaku Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.70 tahun 2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang mewajibkan ritel offline menjual 80% barang lokal.
Tata Kelola
Ketua Umum idEA Aulia E Marinto menyatakan sebenarnya yang perlu ditinjau justru tata kelola impor di-offline karena produk impor di online seperti gadget ada di eCommerce adalah hasil kebijakan impor offline dimana produk tersebut di jual di-online oleh main distributor, sub distributor, maupun reseller.
“Kalau soal produk buatan lokal yang belum banyak di eCommerce ya wajar karena produk lokal lebih banyak di produksi ukm. Kalaupun ada brand lokal besar ya mungkin mereka belum siap semua masuk ke eCommerce,” ulasnya.
Menurutnya, hal yang harus dilakukan sekarang adalah produk buatan lokal di dorong untuk memanfaatkan eCommerce.
“Tapi jangan di suruh saja, di ajarin, di bimbing, dikasih insentif, diapresiasi dan terus dipantau perkembangannya supaya volumenya menjadi signifikan. Kalau bikin aturan jumlah barang impor versus lokal yang di jual di eCommerce, bisa tutup nanti ecommerce. Karena sejatinya yang jual kan juga pemain offline sudah paham teknologi,” tutupnya.
Kesetaraan
Head of Public Policy & Government Relation Tokopedia Sari Kacaribu meminta jika akan diberlakukan pembatasan penjualan barang impor di eCommerce harus diperlakukan layaknya sama di offline.
“Saya baca di offline juga ada pengecualian-pengecualian. Misal, restoran memang asing, gak mungkin dia jualan comro kan? Saya minta harus dipahami dulu bisnis model yang dikembangkan eCommerce sebelum ada aturan pembatasan itu,” pintanya.
Dicontohkannya Tokopedia yang mengandalkan User Generated Content (UGC) dimana tak bisa membatasi konten diunggah penjual. “Kita ini kan ibaratnya mall, masa kita tentukan yang dijual di setiap toko. Beda kalau seperti hypermarket atau minimarket, dia bisa kontrol barang yang dijual dari supplier,” tutupnya.
Secara terpisah, Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengaku bingung dengan visi pemerintah dalam membangun perekonomian digital Indonesia.
“Di satu sisi minta eCommerce digenjot, tapi kok gak mikir ada ekses. Di satu sisi minta impor dikurangi, tapi baru saja dipangkas jumlah jenis barang impor yang harus melalui uji pemeriksaan di pelabuhan (border) dari 5.229 HS (Harmonized System) menjadi 2.256 HS. Ini sebenarnya mau apa? Kasihan pengusaha kalau tak ada visi besar diturunkan menjadi aksi-aksi kecil yang konsisten,” pungkasnya.
Sebelumnya, Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan pemerintah memangkas jumlah jenis barang impor yang harus melalui uji pemeriksaan di pelabuhan (border) dari 5.229 HS (Harmonized System) menjadi 2.256 HS.
Selebihnya barang impor yang tidak berbahaya atau tidak penting diperiksa di pelabuhan itu bisa dilakukan pemeriksaan post border, di pabrik perusahaan yang mengimpor.
Menko Perekonomian menjelaskan, dari 10.826 nomor HS barang ekspor impor yang wajib diperiksa di pelabuhan, saat ini masih 5.229 yang harus diperiksa di sana atau 48,3%. Dengan pemangkasan tersebut, berarti masih 2.256 HS atau 20,8% yang masih harus menjalani pemeriksaan di pelabuhan.
Pemerintah juga membebaskan kewajiban pemeriksaan di pelabuhan terhadap 381 HS yang selama ini diimpor oleh perusahaan yang sudah berusaha puluhan tahun di Indonesia.(dn)