JAKARTA (IndoTelko) – Pemerintah diminta untuk segera membuat kebijakan afirmatif terkait regulasi untuk transportasi berbasis aplikasi (Ride-hailing) agar ada kepastian hukum di masyarakat.
“Sebenarnya ini persoalan lama, kita ingin adanya kebijakan afirmatif pemerintah. Pemerintah tidak bisa menutup mata, tidak boleh diam karena ini sudah bergulir selama 3 tahun,” tegas Ketua Komisi V DPR RI Fary Djemy Francis usai beraudiensi dengan Forum Peduli Transportasi Online Indonesia (FPTOI) dan Gabungan Aksi Roda Dua Indonesia (Garda) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (23/4).
Fary mengungkapkan setidaknya ada tiga tuntutan para pengemudi ojek online yang disampaikan. Pertama, perlindungan atau payung hukum bagi ojek online sebagai bagian dari sistem transportasi publik.
Kedua, adanya rasionalisasi tarif atau penetapan standar tarif bawah sebesar Rp3.000- Rp4.000 per kilometer dengan metode subsidi dari perusahaan aplikasi.
Ketiga, status yang jelas bagi driver ojek online, apakah sebagai mitra atau pekerja, karena selama ini driver transportasi daring merasa dieksploitasi dan sering mengeluarkan kebijakan sepihak tanpa mediasi dengan driver ojek online.
Anggota Komisi V DPR RI Nurhasan Zaidi mendesak pemerintah menyikapi dengan cepat dan jelas permintaan angkutan ojek online karena sangat rawan konflik horizontal di masyarakat.
Nurhasan menyatakan, transportasi online saat ini memiliki peran cukup signifikan menjadi solusi pengangguran yang tinggi dan PHK dimana-mana. “Kita harus membuka mata terhadap hal ini,” tukasnya.
Terkait kekosongan payung hukum, ia mendesak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang selama ini menjadi landasan hukum dirasa perlu didorong dan inisiasi, agar segera dilakukan revisi. Pasalnya UU tersebut yang sama sekali belum menyentuh perkembangan transportasi berbasis online ini.
“Bila dirasa terlalu lama, maka kita mendesak pemerintah untuk mengeluarkan Perpres khusus untuk menangani masalah ini. Ini sangat mendesak untuk mengisi kekosongan hukum,” sebutnya.
Sementara perwakilan FPTOI yang juga sebagai pengemudi ojek online, Krisna mengungkapkan mitra dipaksa ambil semua orderan yang masuk. “Padahal kami ini mitra bukan pekerja,” ujarnya.
Krisna juga mengeluhkan, selama ini para pengemudi ojek berbasis aplikasi tidak pernah dilibatkan dalam menentukan tarif.
Sementara itu, salah satu driver ojek online, Ahmad Syafii mengatakan, legalisasi menjadi penting karena akan menjadi pintu masuk aturan main yang jelas dan mengikat. Mengingat, tak jarang pihak aplikator yang dinilai memberatkan driver, sebab sering melakukan perubahan aturan tarif secara sepihak.
“Ini menjadi dilema buat kami, karena di satu sisi kami perlu beroperasi secara legal dan di sisi lain aplikator tidak mau melegalkan usaha mereka. Negara harus hadir dalam mengatur masalah ini, karena faktanya negara juga hadir mengambil keuntungan dari bisnis ini. Insentif kami dipotong 6%, tapi kok mereka seolah lepas tangan. Kami hanya ingin keberadaan kami diakui dan hidup dengan aturan yang mengikat,” imbuhnya.
Sebelumnya, FPTOI termasuk driver ojek online telah melakukan dua kali aksi damai, yakni pada tanggal 23 November 2017 dan 27 Maret 2017. Namun, kedua aksi tersebut tidak menghasilkan suatu kesepakatan dan aksi nyata pemerintah.
Pada aksi kedua, perwakilan massa termasuk driver ojek online telah bertatap muka dengan Presiden Joko Widodo, tetapi hingga saat ini juga belum membuahkan hasil berupa payung hakums serta kenaikan tarif ojek online.
Jalankan UU
Secara terpisah, Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas menyarankan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melihat Ride-hailing secara komprehensif dengan memprioritaskan amanat dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) ketimbang memikirkan revisi dari regulasi tersebut.
"Jika dicermati, yang diperlukan sekarang ini bukan revisi, melainkan implementasi dari seluruh amanat UU LLAJ yang belum terimplementasi, baik menyangkut soal pengembangan angkutan umum yang selamat, aman, nyaman, terjangkau, dan tepat waktu; pengembangan angkutan umum massal, maupun pengembangan angkutan tidak bermotor dan pejalan kaki," katanya.
Menurutnya, UU LLAJ telah memiliki semangat untuk mendukung pengembangan angkutan umum yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau. "Sayang, amanat UU LLAJ ini banyak yang belum diimplementasikan, meski usianya sudah sembilan tahun. Di lapangan, kita dapat melihat kondisi angkutan umum di perkotaan maupun pedesaan seluruh wilayah tanah air mati suri. Hanya di beberapa kota dan daerah saja yang angkutan dengan menggunakan bus kecil (angkot) atau sedang masih bertahan dan mampu menghidupi pengemudinya," sesalnya.
Menurutnya, jika hanya karena ada teknologi, terus terjadi revisi UU, bisa melelahkan karena perubahan sangat cepat.
“Sebenarnya, filosofi sudah ada di UU LLAJ, soal teknis serahkan saja dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen). Misal, taxi online cukup diatur dengan PM 108/2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Ini mengingat taxi online atau yang dalam PM No. 108/2017 disebut Angkutan Sewa Khusus (ASK) itu bukanlah moda baru yang memiliki konsekuensi hukum perlu pengaturan tersendiri, melainkan hanyalah sistem mendapatkan penumpang saja," pungkasnya.(id)