JAKARTA (IndoTelko) - Pemanfaatan Big Data maupun data science dapat membantu memahami perilaku terduga aksi terorisme. Di antaranya, sebagai alat bantu untuk mengidentifikasi, melacak, dan menghindari ancaman terorisme. Di sejumlah negara maju, teknologi ini sudah mulai banyak diaplikasikan oleh pemerintah, militer, maupun badan intelijen.
Data yang dikumpulkan seputar terduga teroris dapat mengungkap latar belakang dan motivasi aksi mereka. Bahkan, data tersebut dapat mengungkap tentang jaringan mereka, siapa saja informannya, siapa saja yang mendanai mereka, dan lain sebagainya.
Course Producer dan Co-Founder dari Algoritma Data Science Education Center Samuel Chan mengingatkan tindakan melawan terorisme untuk jangka panjang bukan hanya menjadi kewajiban negara. Namun juga melibatkan sektor publik dan swasta.
Samuel menjelaskan, ada banyak hal yang dapat dilakukan negara untuk mendukung upaya ini. Di antaranya melalui pembiayaan atau kampanye yang terorganisir. Namun yang paling penting, negara perlu membuka diri terhadap inovasi-inovasi tersebut.
“Perlu dipahami bahwa di fase awal implementasinya mungkin tidak sempurna, tapi perlu adanya komitmen untuk mengadopsi inovasi tersebut agar dapat berhasil dalam jangka panjang. Kita harus kritis, namun dalam masa trial-and-error, kita perlu memberikan ruang bagi teknologi ini untuk berkembang,” ujar Samuel dalam keterangan, kemarin.
Diungkapkannya, jika diamati mulai banyak perusahaan swasta yang bekerja untuk membangun lingkungan yang lebih aman. Lingkungan yang terhindar dari aksi terorisme, hate speech, illegal trafficking, dan lain sebagainya.
Samuel juga menyebutkan, raksasa media sosial Facebook ikut turut tangan dalam menangani isu ini. Di antaranya dengan mengembangkan sebuah teknologi analisis teks untuk mendeteksi kata-kata yang mungkin mengandung unsur propaganda teroris.
“Teknologi lainnya yang dapat digunakan adalah image recognition, computer vision, bahkan biometrics mining. Ini adalah upaya penelitian yang membutuhkan komitmen tertentu baik dari sektor publik maupun swasta,” tambahnya.
Di Indonesia sendiri, upaya pencegahan tindak kriminal di ranah digital kerap digalakkan. Salah satu contohnya adalah melalui platform AduanKonten yang ada di bawah bendera Menkominfo. Situs tersebut bertujuan untuk menerima laporan konten bersifat negatif, hoaks, bahkan yang mengandung unsur terorisme.
Walaupun data science dapat memberikan pengaruh yang signifikan dalam pengawasan dan tindak pencegahan aksi terorisme, di sisi lain hal ini turut menimbulkan pro-kontra di sejumlah kalangan.
Penggunaan data untuk mengawasi tindak tanduk warga terduga pelaku terorisme dikhawatirkan dapat memunculkan adanya penyalahgunaan data. Selain itu, ada juga pihak-pihak yang meragukan keakuratan informasi akibat sumber data maupun algoritma yang bias. Isu privasi sendiri adalah topik panas yang cukup sering diperdebatkan.
“Saya pribadi mendukung adanya regulasi untuk hal ini, apalagi jika regulasi tersebut dapat membantu kita untuk menciptakan lingkungan yang bersih dari hate speech maupun propaganda. Kuncinya adalah, regulasi harus diaplikasikan secara adil dan tanpa diskriminasi. Pada pelaksanannya harus dilakukan secara obyektif,” jelas Samuel.
Perkembangan
Diingatkannya, saat ini Artificial Intelligence (AI) berkembang sangat pesat dalam segala sisi penekanan tindak kriminal. Platform yang dulunya merupakan lahan hijau untuk terorisme kini justru menjadi area yang sulit bagi mereka untuk bergerak.
Samuel sendiri memiliki prediksi yang menarik tentang bagaimana AI akan berkembang di masa depan.
Menurutnya, jika AI semakin mampu menghentikan aksi kriminal sebelum terjadi, alih-alih hanya melacak pelaku setelah terjadinya tindak kriminal, maka kamu akan jarang melihat beritanya di televisi.
“Ini adalah inovasi yang akan jarang terdengar di media. Karena, kamu hanya akan mendengar adanya kejahatan setelah terjadi, bukan karena itu belum terjadi. Jadi, jika AI dan machine learning betul-betul bekerja dengan baik, perannya akan lebih banyak sebagai pahlawan di balik layar yang menghentikan kejahatan sebelum kejahatan terjadi di tengah masyarakat,” pungkas Samuel.
Lalu, sejauh apa pemanfaatan data dalam melawan terorisme di sejumlah negara maju?
Ada beberapa institusi yang bersedia menjelaskan bagaimana tepatnya data science dapat digunakan untuk menanggulangi aksi terorisme. Di antaranya adalah NEPAR (Networked Pattern Recognition) Framework, yang dikembangkan oleh peneliti di Universitas Binghamton, New York, sekitar tahun 2017.
Mereka mengumpulkan 150.000 serangan teroris sepanjang 1970 hingga 2015. Kemudian, membaca pola penyerangan untuk memahami perilaku, menganalisis pola, dan hubungannya dengan aktivitas terorisme.
Dengan begitu, mereka mampu memprediksi pergerakan teroris kemudian mendeteksi dan mencegah kemungkinan adanya aksi terorisme. Metode tersebut diklaim memiliki tingkat akurasi sebesar 90%.
Selain itu ada juga sebuah proyek besar data mining yang dilakukan oleh Qatar Computing Research Institute di Doha pada tahun 2015, menganalisis data dari media sosial untuk menemukan asal para pendukung ISIS.
Para peneliti mempelajari tiga juta tweet yang dipost dalam periode tiga bulan. Mereka lalu menargetkan pola kunci dan karakteristik atau isi cuitan tersebut.
Mereka kemudian dapat menciptakan algoritma yang mampu mengelompokkan pengguna Twitter tersebut, apakah mereka anti atau pro ISIS dengan tingkat akurasi sebesar 87%. Dengan kemampuan tersebut, alat ini akan berguna dalam membatasi pertumbuhan kelompok penyebar aksi terorisme.
Selain memanfaatkan data dari media sosial dan data dari serangan terorisme sebelumnya, salah satu cara lainnya adalah dengan memanfaatkan drone atau pesawat tanpa awak. Drone tersebut akan beroperasi dan mengintai daerah yang dinilai berpotensi timbul aktivitas mencurigakan.
Data tersebut ditampilkan secara real time, kemudian akan digabungkan dengan data dari sumber dan regu lainnya. Setelah terkumpul semua, kemudian data-data tersebut kemudian digunakan untuk mengidentifikasi di mana para teroris berada dan ke mana mereka akan bergerak.(wn)