JAKARTA (IndoTelko) – Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dinilai inkonsisten dalam menjalankan kebijakan pemblokiran konten tidak sehat dalam kasus penapisan sementara aplikasi Tik Tok.
“Media sosial atau aplikasi dari negara manapun harus ditegur keras bahkan diblokir permanen jika merugikan kepentingan nasional. Komunikonten mengapresiasi pemblokiran sementara Tik Tok, kita tidak ingin bonus demografi batal terjadi, karena para remaja dirusak fokusnya oleh konten-konten negatif,” kata Direktur Eksekutif Komunikonten (Institut Media Sosial dan Diplomasi) Hariqo Wibawa Satria dalam keterangan, kemarin.
Namun, dia menilai ada inkonsistensi dalam isu pemblokiran jika mengacu pada isi konten karena selain di Tik Tok, konten berbahaya juga banyak sekali di platform youtube, twitter, instagram, facebook, dan google, diantaranya konten yang mengadu domba pendukung tokoh, antarumat bergama, internal umat seagama, fitnah, hoaks, ujaran kebencian, pornografi, kekerasan, dan lainnya.
Konten-konten berbahaya tersebut lambat sekali dihapus oleh para pengusaha media sosial, bahkan ada video yang menghina tiga agama sekaligus tidak juga dihapus oleh youtube, padahal sudah empat tahun video tersebut ditonton di youtube.
“Disini konsistensi Kominfo dipertanyakan. Kami sudah menyampaikan ini, baik saat dialog di televisi bersama Dirjen Aptika Kemkominfo maupun di media sosial. Tetapi hingga rilis ini kami tulis, konten berbahaya tersebut belum juga dihapus,” tukasnya.
Terkait kewajiban adanya tim monitoring atau pusat monitoring yang berada di Indonesia,patut dipertanyakan pihak media sosial sudah sudah memilikinya?Jika sudah, kenapa masih banyak sekali konten berbahaya di medsos yang belum juga dihapus. Jika belum, mengapa Kominfo tidak memblokir sementara seperti yang diterapkan pada Tik Tok.
Disarankannya, untuk menghapus konten berbahaya, pengusaha media sosial tidak bisa mengandalkan sistem, kecerdasan buatan, tetapi juga harus manual. Tantangannya minimal dua; siapa yang menyediakan tenaga monitoring ini? Jawabannya bisa pemerintah berkolaborasi dengan masyarakat.
“Kami yakin banyak sekali anak muda Indonesia yang bersedia menjadi relawan penghapus konten yang merugikan NKRI, tinggal dibuat standar kerjanya. Pertanyaannya, bisakah Pemerintah melalui para relawan tersebut menghapus langsung sebuah konten tanpa “restu” dari pengusaha media sosial?. Ini titik masalahnya di banyak negara,” ulasnya.
Dikatakannya, idealnya sebelum menggunakan sebuah aplikasi atau membuat akun media sosial ada proses tanya tanya jawab antara penyedia aplikasi atau pengusaha medsos dengan calon penggunanya.
Singkatnya term of use saat sebelum seseorang membuat akun media sosial sebaiknya diubah dalam format tanya jawab, tujuannya agar lebih tertanam di pikiran pengguna mengenai apa yang boleh dan dilarang dilakukan dengan media sosial.
Langkah pencegahan lainnya adalah memberikan peringatan sebelum sebuah konten diunggah oleh pengguna medsos, misalnya dengan kalimat ‘apakah anda yakin konten yang anda unggah benar?’ atau ‘apakah anda sudah memeriksa konten yang anda unggah tidak melanggar ketentuan.
Dengan adanya peringatan ini pengguna media sosial ada jeda waktu untuk memikirkan ulang apakah konten yang akan diunggah benar, atau lebih jauh tidak mengakibatkan perpecahan di masyarakat.
“Memang ini mengurangi kecepatan, namun saya yakin ini cukup efektif untuk mengantisipasi kesalahan. Tidak mudah mengintervensi pengusaha media sosial, disinilah Kominfo diuji konsistensinya dan memerlukan dukungan masyarakat. Kita semua terus menunggu aplikasi, media sosial ataupun mesin pencari karya anak Indonesia,” tutupnya.(ak)