telkomsel halo

Waspadai eksploitasi data pribadi di pemilu

10:05:05 | 24 Dec 2018
Waspadai eksploitasi data pribadi di pemilu
JAKARTA (IndoTelko) - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mengingatkan bahaya pemanfaatan teknologi dalam pesta demokrasi yang bisa mengancam demokrasi.   

Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar mengatakan meskipun terbukti meningkatkan efektivitas dan biaya penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), beberapa praktik praktik dari pemanfaatan teknologi justru membuka potensi yang mengancam demokras. 

"Praktik manipulasi Pemilu dilakukan dengan mengeksploitasi data pribadi pemilih yang secara umum bersumber pada Registration Voters Database (database pemilih) dan data dari aktivitas digital media sosial, praktik ini telah marak terjadi di beberapa negara. Teknik-teknis eksploitasi data yang memanipulasi pemilih dalam menggunakan hak pilihnya adalah bentuk pelanggaran privasi," ungkapnya dalam keterangan, kemarin.

Salah satu metode yang paling sering digunakan adalah “Profiling” atau mencocokan data dan informasi yang ditujukan untuk menggambarkan kehidupan dan minat seorang individu.  

Dalam Pemilu, metode ini dikenal dengan nama  VBT (Voters Behavioral Targeting) sebagai strategi kampanye berbasis data. VBT merujuk pada pembuatan profil pemilih berdasarkan perilaku online pemilih dan data lain yang disediakan oleh data broker, serta penggunaan profil ini untuk menargetkan pemilih secara individu dengan iklan politik melalui media sosial yang dapat dengan mudah disesuaikan. 

Selain itu, terdapat pula teknik VMT (Voter Micro-Targeting) yang dilakukan oleh partai politik untuk mengklasifikasikan dan mengelompokkan calon pemilih dari sumber data yakni berbagai jenis komunikasi seperti surat, telepon, dan iklan media sosial. Selain itu data tersebut digunakan untuk berkomunikasi dan membangun hubungan dengan calon pemilih.

"Cambridge Analytica, salah satu perusahaan analis data, telah terbukti melakukan eksploitasi data pribadi pemilih dalam Pemilu di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kenya, dan India," paparnya.

Dari data-data tersebut, dibangun metode kampanye yang memanipulasi pemilih dalam penggunaan hak pilihnya. Seperti yang terjadi dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016, Cambridge Analytica mula-mula mengidentifikasikan pengguna sosial Media Facebook berdasarkan aktivitas digitalnya yang diduga memilih Hillary, kemudian pemilih ditargetkan dengan pesan psikografis yang dirancang untuk menghasut calon pemilih Hillary untuk mengganti pilihannya, atau bahkan tidak menggunakan hak pilih sama sekali.

Hal ini juga terjadi di Kenya, dengan  menggunakan strategi “divisive propaganda”, Cambridge Analytica telah meningkatkan permusuhan etnis demi memenangkan Uhuru Kenyatta. Selama musim kampanye, warga Kenya menerima pesan teks yang telah ditargetkan berisi disinformasi dan ujaran kebencian. 

Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa data pemilih, data media sosial, dan nomor telepon telah dikaitkan satu sama lain, dianalisis, untuk kemudian digunakan untuk menyebarkan propaganda politik yang ditargetkan kepada calon pemilih. Padahal, dalam rezim perlindungan data pribadi. Pandangan politik dianggap sebagai data sensitif dan oleh karenanya mendapat perlindungan khusus serta tunduk pada kondisi pemrosesan tertentu.

Catatan buruk pemanfaatan teknologi dalam pelaksanaan Pemilu yang terjadi di beberapa negara seperti yang dijelaskan sebelumnya, juga dapat mengancam pelaksanaan Pemilihan Umum Indonesia di tahun 2019 mendatang. 

Penetrasi internet di Indonesia tergolong tinggi. Berdasarkan survey dari We Are Social dan Hootsuite disebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam hal perkembangan jumlah pengguna media sosial terpesat di dunia dengan rata-rata jumlah waktu yang dihabiskan untuk mengakses internet sebesar 8 jam 51 menit dalam sehari. Data tersebut menunjukan bagaimana masifnya data yang dikumpulkan dan berpotensi dianalisis dan dimanfaatkan oleh partai politik.

Persoalan regulasi juga menjadi sumber utama menguatnya ancaman Indonesia menghadapi sisi gelap pemanfaatan teknologi dalam pelaksanaan Pemilu. 

Tumpang tindihnya peraturan-perundangan antara UU Pemilu, UU Adminduk dan UU ITE menyebabkan ketidakjelasan perlindungan data Daftar Pemilih Tetap di Indonesia. 

Selain itu, belum ada regulasi maupun aturan turunannya yang secara khusus mengatur pemanfaatan data bagi strategi kampanye. 

Misalnya di Indonesia, UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 dan PKPU No. 23 Tahun 2018 masih mengizinkan adanya iklan pemilu dengan menggunakan produk advertising yang ditawarkan oleh beberapa platform media sosial, salah satunya Facebook.

Selain itu, Meskipun kasus-kasus di atas telah mendapat kecaman dari dunia, karena terbukti melanggar privasi, beberapa juru bicara dan juru kampanye partai politik di Indonesia justru berlomba-lomba mereplikasi praktik yang mencederai prinsip demokrasi ini. 

Sebagaimana diberitakan di beberapa media, salah satu Politisi Partai Golkar, Bambang Soesatyo menyatakan Big Data harus dimanfaatkan dalam pemenangan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. 

"Bahkan secara langsung Bambang Soesatyo menyatakan pemenangan Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat tahun 2016 menjadi bukti efektivitas Big Data dalam kancah pertarungan politik yang perlu diterapkan dalam Pemilu Indonesia," sesalnya.

Hal ini diperparah dengan belum adanya regulasi yang secara khusus dan komprehensif menjamin perlindungan data pribadi di Indonesia. 

Seperti yang telah diketahui, RUU Perlindungan Data Pribadi belum juga disahkan dan baru menjadi regulasi prioritas (Prolegnas) di tahun 2019 mendatang. Sehingga jaminan warga negara terhadap data privasinya tidak memiliki payung hukum dan menyebabkan lemahnya perlindungan.

Elsam merekomendasikan pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi, termasuk kejelasan tanggung jawab partai politik sebagai pemroses data.

Berikutnya, perlunya pembaruan sinkronisasi peraturan peraturan perundang-undangan sektoral khususnya UU Adminduk dan UU Pemilu.

Perlunya integrasi prinsip-prinsip HAM khususnya terkait perlindungan data pribadi dalam kebijakan internal serta ketentuan syarat layanan perusahaan. Perusahaan juga perlu menyediakan mekanisme komplain dan pemulihan termasuk notifikasi jika terjadi kebocoran data.

Mendorong sertifikasi dari asosiasi terhadap perusahaan jasa analitik dan kampanye politik digital.

Kebutuhan pembaharuan terkait kampanye dengan terlebih dahulu mengidentifikasi bentuk-bentuk kampanye politik digital dan merumuskannya dalam peraturan pemilu, juga pengaturan mengenai iklan politik khususnya iklan politik yang menggunakan media sosial.

Bawaslu untuk melakukan pengawasan yang ketat terhadap praktik iklan kampanye yang dilakukan melalui media sosial dan media elektronik.

Perlunya transparansi partai politik mengenai cara dan penggunaan data pribadi yang dikumpulkan oleh partai politik dan perusahaan yang disewanya. Individu juga perlu diberi akses untuk melihat profil mereka yang dikumpulkan oleh parpol, termasuk permintaan penghapusan profil mereka.

Perlunya transparansi kampanye yang didanai oleh partai politik termasuk pengembangan pesan-pesan yang ditargetkan atau perusahaan-perusahaan yang mereka pekerjakan.

GCG BUMN
"Pemerintah mengambil peran kunci dalam menumbuhkembangkan kesadaran publik terkait pentingnya perlindungan data pribadi dan pendidikan literasi digital mengingat tingginya intensitas penyebaran disinformasi  menjelang penyelenggaraan pemilu,"pungkasnya.(wn)

Ikuti terus perkembangan berita ini dalam topik
Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year