JAKARTA (IndoTelko) - Rancangan Peraturan Menteri Perhubungan (RPM) tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat atau aturan untuk Ojek Online (Ojol) sepertinya mulai mendapat perlawanan dari aplikator ride-hailing.
Hal ini diungkap Analis Kebijakan Transportasi dari Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) dan Koordinator Koalisi Warga untuk Transportasi (KAWAT) Jakarta Azas Tigor Nainggolan.
"Para aplikator sepertinya menolak soal tarif diatur dalam RPM itu," duga Tigor dalam keterangan kemarin.
Diungkapkannya, dalam RPM tersebut tarif akan disesuaikan dengan kondisi kebutuhan biaya operasional pelayanan pengemudi dan besarannya ditentukan bukan oleh aplikator seperti saat ini.
"Sekarang para aplikator sangat bebas memeras para pengemudi Ojol dengan tarif murah tidak rasional dan tingginya potongan serta tipuan bonus atau poin," katanya.
Menurutnya, para aplikator jelas sangat memiliki kepentingan agar tarif tidak dinaikan dan keuntungan mereka tetap besar karena pengguna Ojol tetap tinggi jumlahnya. Para aplikator dalam hasil riset sudah mengatakan dan mengancam bahwa kenaikan tarif Ojol akan menurunkan penggunaan Ojol dilihat dari akan terjadinya penurunan penggunaan angkutan umum yang dihubungkan oleh layanan Ojol.
"Jadi menolak kenaikan tarif Ojol berarti juga menolak regulasi RPM yang sedang dibuat oleh pemerintah tahun," simpulnya.
Dijelaskannya, dalam pembahasan soal tarif di RPM terungkap selama ini para aplikator telah mengeksploitasi para driver yang katanya mitra mereka.
Selama ini aplikator menetapkan tarif murah dan potongan 20% dari setiap tarif order yang masuk. Tambah lagi aplikator membius para driver dengan iming bonus atau point yang hanya mau menekan driver agar bekerja tanpa batas waktu aman.
Para pengemudi Ojol merasakan bahwa tarif Ojol sekarang sudah sangat murah dan tidak manusiawi yakni sekitar Rp 1.000-Rp 1.600 per Km. Tarif murah itu ditetapkan sendiri oleh para aplikator dan para pengemudi hanya bisa menerima tanpa bisa menolak.
Jika para aplikator mengatakan tarif yang diminta driver sekitar Rp 3.100 - Rp 3.500 per KM mahal. Pemerintah dan pengemudi ojol memiliki hitungan komponen tarif yang merupakan biaya operasional layanan Ojol.
"Kami minta para aplikator memaparkan tarif yang mereka tentukan sebesar 1.200 per Km adalah tarif murah yang tepat sesuai kebutuhan operasional para driver. Para aplikator jangan hanya menolak kenaikan tarif akan tanpa ada argumentasi objektifnya," tukasnya.
Sebelumnya, Ketua Tim Peneliti Research Institute for Socio-Economic Development (RISED) Rumayya Batubara merasa fokus pemerintah dalam menyusun RPM terasa lebih condong untuk mendengarkan suara pengemudi. Padahal, pemangku kepentingan terbesar adalah konsumen.
Hasil survei yang dilakukan RISED menunjukkan, permintaan konsumen terhadap jasa ojol bisa turun 71,12% jika tarif dinaikkan. Dari 2.001 pengguna ojek daring yang disurvei selama dua minggu pada bulan Januari 2019, sebanyak 22,99 persen responden tidak bersedia tarif dinaikkan.
Survei yang dilakukan di 10 provinsi dan 17 kabupaten/kota itu juga menunjukkan, ada 48,13% konsumen yang bersedia tarif dinaikkan, tetapi kurang dari Rp 5.000 per hari. Sementara 28,88% konsumen bersedia tarif dinaikkan Rp 5.000-Rp 30.000 per hari.
Adanya responden yang tidak bersedia naik tarif, ditambah responden yang hanya mau naik kurang dari Rp 5.000 per hari, apabila kenaikannya lebih dari itu, ojek online berpotensi kehilangan penumpang hingga 71,12%.
Saat ini, tarif maksimal ojek daring mencapai Rp 2.200 per kilometer (km), sedangkan usulan yang berkembang, tarif naik menjadi Rp 3.100 per km. ini artinya, ada kenaikan Rp 900 per km atau 40,9%.
Jika rata-rata konsumen menggunakan ojek daring sejauh 8,8 km per hari, tambahan biaya pengeluaran menjadi Rp 7.920 per hari. Angka ini jauh melebihi harapan responden.(id)