JAKARTA (IndoTelko) - Platform crowd source untuk penghitungan suara Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Ayo Jaga TPS, tengah menjadi perbincangan di dunia maya karena dituding tabulasi datanya bodong sehingga berbeda jauh dengan Sistem Hitung (situng) Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Per 23 April 2019 jam 11:00:03 WIB, Situng KPU menghitung 159.783 TPS atau 19.64505% dari total 813.350 TPS.
Situng KPU menyatakan perolehan suara dari pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan KH Ma'ruf Amin (01) sementara sebesar 16.670.689 suara (55,11%) sementara Prabowo Subianto-Sandiaga S Uno (02) sebesar 13.578.323 suara (44,89%).
Situng KPU menampilkan hasil hitungan berbasis Formulir C1 Plano dari setiap TPS yang ada di seluruh Indonesia. Hasil perhitungan sementara itu bisa diakses seluruh masyarakat Indonesia untuk ikut membantu pemantauan proses rekapitulasi suara.
Scan C1 tidak akan jadi rujukan menentukan hasil pemilu, karena itu dibuat agar masyarakat lebih cepat mengetahui gambaran hasilnya. Hasil resmi diperoleh dari penghitungan manual dan berjenjang. Perhitungan resmi tetap harus menunggu tanggal 22 Mei 2019.
Sedangkan Ayo Jaga TPS per Senin (23/4) jam 20.00 WIB menghitung suara sementara Jokowi 2.673.940 suara (37,2%) dan Prabowo 4.521.750 suara (62,8%).
Perhitungan platform crowd source KawalPemilu.org per 23 April jam 10.00 Wib suara sementara Jokowi 13.228.435 suara (52,8%) dan Prabowo 11.814.491 suara (47,2%).
Jauhnya perbedaan persentase Ayo Jaga TPS dengan Situng KPU dan platform crowd source lainnya menjadikan warganet bertanya-tanya tentang kualitas data C1 Plano yang dimiliki aplikasi ini.
"Saya tahu banyak yang penasaran dengan data di Ayo Jaga TPS, kami juga ingin upload scan C1 Plano itu. Tetapi serangan siber ke platform kami kencang terus. Kecuali Anda atau mereka yang nyinyir itu mau bantuin atasi isu serangan siber ini, bolehlah minta cepat-cepat scan C1 Plano di-upload," tegas Co Founder Ayo Jaga TPS Mochammad James F di Jakarta, Selasa (23/4).
James menyatakan Ayo Jaga TPS per Selasa (23/4) menyediakan data dalam format excel untuk klarifikasi input data yang sudah di-upload relawannya.
"Di situs kami sediakan dalam format excel, cek saja ada gak data TPS yang di-upload oleh relawan baik dari pihak 01 atau 02. Ketimbang pada nyinyir di media sosial dan percaya dengan akun anonim, baiknya tabayun. Mau Ramadan kok pada hobi ghibah," kesalnya. (
Baca: Cek Data di Ayo Jaga TPS)
James menyarankan, dalam klarfikasi data yang di-upload dilakukan kroscek dengan hasil yang ada di situng KPU karena mungkin ada data yang belum beririsan, tapi sebagian besar harusnya sudah.
Namun, jika ada kesalahan dalam data TPS di-publish, Ayo Jaga TPS mengunggu koreksi melalui email: ayojagatps.official@gmail.com dengan subject "Koreksi Data TPS" sertakan informasi selengkap mungkin dari TPS yang ingin dikoreksi, serta bukti foto C1. (
Baca:
Crowd Source Pemilu)
"Bagi yang mau lihat scan C1, seperti yang saya bilang tadi, serangan siber ke kami itu belum reda. Kalau penasaran, saya siap kopdar (kopi darat). Profil saya kan jelas di media sosial (Medsos), bahkan sudah diiris-iris tipis kan sama akun anonim. Justru saya nantangin yang nyinyir itu ketemuanlah. Bicara secara intelektual, jangan nyebar gosip tak jelas," gerutunya.
Integritas
Lebih lanjut James menegaskan ketika membangun aplikasi Ayo Jaga TPS mempertaruhkan integritas dirinya yang mengantongi Certified Chief Information Security Officer (CCISO). (
Baca:
Profil Ayo Jaga TPS)
"Saya paham sekali soal integritas data. Makanya kita sediakan 3 filter utama dalam proses cleansing data yang masuk ke sistem, sebagai tambahan filter paling fundamental "apakah yang upload data itu manusia atau bukan". Kita minta data ada foto C1, kalau tidak TPS itu akan kita drop. Jika ada lebih dari satu input terhadap satu TPS, dan ada perbedaan angka, maka TPS itu juga akan di-drop. Jika total suara sah + tidak sah dari satu TPS > 600 maka data TPS itu akan di-drop. Threshold ini kami naikkan dari 400 ke 600 memperhatikan sejumlah foto C1 yang beredar dimana ternyata ada sejumlah TPS yang karena kondisi khusus, jumlah pemilihnya bisa lebih dari 500," paparnya.
Secara terpisah, Pengamat Telekomunikasi Heru Sutadi mengatakan kehadiran crowd-source untuk penghitungan Pilpres menjadi perhatian masyarakat sebagai pembanding dari Situng KPU.
"Situng KPU kan tidak satu, dua, atau tiga kali salah input data tetapi berkali-kali, bahkan pola distribusi hitungnya terkesan membangun opini, makanya masyarakat mencari pembanding di crowd source. Harusnya yang diperhatikan itu hasil tabulasi, jangan siapa di belakang platform. Berharap semua netral dalam kondisi politik sekarang, itu sulit. Karena netral itu ada di warna semir sepatu dan perseneling gigi," katanya.
Heru pun mengatakan, idealnya pemilik crowd source konsisten mengambil data dari lapangan, bukan terpengaruh atau merujuk ke situng KPU. "Tujuannya kan bandingin hasil, kalau ambil data dari sumber yang sama itu bukan pembanding, tapi penguat. Lantas keseruan intelektualnya dimana?" tanyanya.(dn)