JAKARTA (IndoTelko) -
Rancangan Peraturan Menteri tentang Pembatasan Akses Layanan Telekomunikasi Bergerak Selular pada Alat dan atau Perangkat Telekomunikasi atau dikenal sebagai beleid untuk mengatur validasi International Mobile Equipment Identity (IMEI) dinilai bisa merugikan pengguna jika penerapannya tak terukur.
"Salah satu yang harus diperhatikan dan bisa menjadi ganjalan dalam implementasi validasi IMEI telepon seluler (Ponsel) itu adalah isu cloning dimana IMEI berasal dari perangkat telekomunikasi yang sudah rusak atau dikenal dengan IMEI zombie," ungkap Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Heru Sutadi kemarin.
Diungkapkannya, penggunaan IMEI cloning dan zombie di Indonesia bukanlah cerita yang baru. Bahkan, mantan komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) periode 2009-2011 ini mengaku ketika masih aktif sebagai regulator sudah banyak menemukan perangkat telekomunikasi menggunakan IMEI cloning atau zombie.
“Sebenarnya sudah sejak lama peredaran IMEI cloning dan zombie di Indonesia. Ini dibuktikan dengan banyaknya ponsel tanpa IMEI masuk ke Batam dan Tanjung Priok. Sekarang Anda pergi ke Batam bisa membeli ponsel seolah-olah asli namun IMEI menggunakan yang cloning. Harganya juga murah,”terang Heru.
Menurutnya, jika sistim pengendalian ponsel ilegal menggunakan metode blokir IMEI tetap berjalan, banyak masyarakat yang dirugikan. Soalnya, pemerintah belum membangun sistim yang dapat mepermudah masyarakat melakukan pengecekan status perangkatnya legal atau tidak.
“Harusnya sistim blokir dikenakan di tingkat penjual. Bukan di tingkat pembeli. Tidak pernah ada preseden konsumen yang dihukum. Kalau pemerintah mau menindak, harusnya ke tokonya. Harusnya pemerintah memiliki data white list. Pemerintah juga bisa meningkatkan pengawasan masuknya ponsel ilegal mulai dari pelabuhan hingga toko. Sehingga semua pintu masuk ponsel ilegal bisa diawasi. Jika yang diblokir dari tingkat operator maka yang akan dirugikan adalah konsumen,”papar Heru.
Disarankannya, pemerintah mempertimbangkan membuat sistim whitelist dengan memasukan data IMEI dari tanda pendaftaran produk (TPP) impor dan produksi. Masyarakat yang ingin membeli ponsel baru dapat melakukan pengecekan dan mendaftarkan IMEI di sistim yang dibangun oleh pemerintah.
Jika validasi dan registrasi IMEI tersebut tidak dilakukan atau tidak sesuai dengan data TPP impor dan TPP produksi, maka HP tersebut tidak bisa dipergunakan di sistim operator Indonesia.
Heru mengingatkan kepada Kominfo bahwa kewenangan yang tertuang dalam UU telekomunikasi hanya sampai pada menerbitkan sertifikasi perangkat telekomunikasi. Sehingga seluruh perangkat telekomunikasi yang beroperasi di Indonesia sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah, bukan mengurus tata niaga ponsel, apalagi melakukan blokir.
Soal pencegahan ponsel ilegal adalah tugas dari aparat bea cukai, Kementrian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian.
“Jika mereka bekerja maksimal maka masuknya ponsel ilegal pasti tak akan pernah ada. Jika ada kebocoran, maka yang dimonitoring itu yang ada di toko. Termasuk toko online. Karena yang diuber pemerintah hanya PPn saja. Tidak ada bea masuk impor bagi HP yang diproduksi di luar negeri. Sehingga pengendalian peredaran ponsel di masyarakat bersifat preventif bukan korektif melalui pemblokiran,”kata Heru.
Lebih lanjut dikatakannya, blokir IMEI seharusnya hanya untuk ponsel curian. Sehingga masyarakat tidak dibuat susah dan operator tidak disibukan dengan urusan blokir.
"Cara berfikir pemerintah ini yang harus diubah dengan membuat sistim pengawasan di toko sebelum masyarakat membeli perangkat. Kalau RPM itu disahkan Kominfo berpotensi melakukanabuse of power, sangat mungkin nanti ada kelompok masyarakat melakukan class action di pengadilan," tutupnya.(tp)