JAKARTA (IndoTelko) - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate melakukan perbuatan melawan hukum terkait pemblokiran atau
pelambatan koneksi internet di Papua pada 2019.
"Mengabulkan gugatan para tergugat untuk seluruhnya. Menyatakan perbuatan para tergugat adalah perbuatan melanggar hukum oleh badan dan atau pemerintahan," ucap Hakim Ketua Majelis Nelvy Christin, S.H., M.H., didampingi hakim anggota Baiq Yuliani, S.H. dan Indah Mayasari, S.H., M.H., kemarin.
Dalam putusan itu, Hakim juga memerintahkan pemerintah untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.
"Menghukum para tergugat menghentikan dan tidak mengulangi seluruh perbuatan dan/atau tindakan pelambatan dan/atau pemutusan akses internet di seluruh wilayah Indonesia," tuturnya.
Hakim menjelaskan sesuai dengan pengaturan pembatasan HAM harus dengan Undang-Undang, tidak bisa sembarangan menggunakan diskresi. Dan di UU, yang diatur adalah adalah informasi dan dokumen yang melanggar hukum. Bukan memblokir jaringan.
Majelis hakim menilai secara prosedur tindakan internet shutdown menyalahi prosedur. Tidak didahului pengumuman keadaan bahaya. Secara substansi pemadaman internet juga menyalahi ketentuan Diskresi, dan bertentangan dengan UU dan asas umum pemerintahan yang baik.
Jikapun Pemerintah melakukan upaya banding, Hakim menyebut vonis ini tetap dapat dilaksanakan.
"Menyatakan putusan atas gugatan ini dapat dilaksanakan lebih dahulu walaupun ada upaya hukum," kata dia.
Asal tahu saja, kebijakan pemblokiran internet di
Papua dan Papua Barat pada Agustus 2019 digugat oleh SAFEnet Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan terdaftar di PTUN dengan nomor 230/6/2019/PTUN-Jakarta. Sebagai tergugat adalah Menkominfo dan Presiden Joko Widodo.
Dalam persidangan terungkap, saksi ahli hukum administrasi negara Oce Madril menjelaskan pemerintah tidak dapat memutus akses internet secara keseluruhan karena tindakan tersebut bertentangan dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Tindakan pemerintah itu juga bertentangan dengan Dewan HAM PBB yang telah mengatakan bahwa memutuskan hubungan orang-orang dari internet adalah melanggar HAM dan melanggar hukum internasional.
Fakta lain yang terungkap di persidangan adalah Mantan Kapolda Papua, Inspektur Jenderal Polisi Rudolf Albert Rodja bersaksi ia tidak pernah merekomendasikan internet shutdown. Sementara Dirjen Aptika Semuel A Pangerapan bersaksi yang melakukan pelambatan atau pemutusan akses adalah operator, namun instruksi datang dari pemerintah.
Koordinasi dilakukan melalui WhatsApp Grup berisi Menkominfo dan semua CEO operator perusahaan telekomunikasi. Saat melakukan tindakan tidak pernah dikeluarkan surat keputusan apapun.
Menanggapi hal itu, Juru Bicara Presiden Bidang Hukum Dini Purwono Dini menyatakan pemerintah tengah memikirkan langkah selanjutnya terkait putusan itu.
"Belum diputuskan apa langkah hukum selanjutnya dari pihak Pemerintah. Akan dibahas lebih lanjut dengan jaksa pengacara negara," katanya.
Dikatakannya, pemerintah sangat menghargai putusan PTUN yang diajukan oleh Tim Advokasi Pembela Kebebasan Pers.
Menurut Dini, pihaknya punya waktu dua pekan untuk mempelajari putusan itu.
"Masih ada waktu 14 hari sejak putusan PTUN untuk putusan tersebut berkekuatan hukum tetap," katanya.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengaku belum membaca amar putusan. "Tentunya, kami hanya mengacu pada amar keputusan PTUN, yang menurut informasi tidak sepenuhnya sesuai dengan petitum penggugat," kata Johnny.
Bagi Johnny, keputusan tersebut belum sampai pada tahap akhir. "Kami menghargai keputusan pengadilan. Tapi kami juga mencadangkan hak hukum sebagai tergugat. Kami akan berbicara dengan jaksa pengacara negara untuk menentukan langkah hukum selanjutnya," tegasnya.
Ia juga mengklaim belum menemukan adanya dokumen tentang keputusan yang dilakukan oleh pemerintah terkait pemblokiran atau pembatasan akses internet di wilayah tersebut.
Johnny mengaku tidak menemukan informasi adanya rapat-rapat di Gedung Kominfo pada periode sebelumnya terkait kebijakan blokir internet tersebut.
Menurutnya, Jokowi sebagai kepala negara tentu mengambil kebijakan dengan mengutamakan negara, bangsa dan rakyat Indonesia, termasuk di dalamnya rakyat Papua. Kebijakan ini diperuntukkan bagi semua kelompok masyarakat tidak hanya untuk kelompok tertentu.
"Kami tentu sangat berharap bahwa selanjutnya kebebasan menyampaikan pendapat dan ekspresi demokrasi melalui ruang siber dapat dilakukan dengan cara yang cerdas, lebih bertanggung jawab, dan digunakan untuk hal yang bermanfaat bagi bangsa kita," tegasnya.
Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun berharap keputusan dari PTUN tersebut menjadi preseden yang baik untuk menjaga arus informasi, dan diperkuat di tingkat banding atau kasasi nantinya.
"Bisa dibayangkan dalam situasi pandemi seperti sekarang, suara-suara kritis bisa dibungkam dengan cukup akses internet dilambatkan atau dihilangkan. Mudah-mudahan putusan PTUN menjadi pembelajaran bagi pemerintah agar menjadi regulator yang bertanggungjawab," katanya.(id)