JAKARTA (IndoTelko) - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengimbau generasi muda untuk selektif dalam memasang aplikasi yang digunakan di smartphone.
"Fakta di lapangan menunjukkan bahwa 93% netizen mengumbar data pribadi mereka di dunia digital. Sementara, 44% lainnya membagikan data-data tersebut kepada publik dan bahkan 21% membagikan data secara sukarela kepada orang yang tidak dikenal," ujar Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan dalam Webminar PDP: Melindungi Data Pribadi Bagi Generasi Z dan Millenial, kemarin.
Menurutnya, masyarakat perlu meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang bagaimana menjaga data pribadi khususnya yang spesifik. Terutama ketika memasang aplikasi digital agar kerahasiaan data pribadi tetap terjaga.
“Perlu ditingkatkan karena itu bisa merugikan. Jadi, pertama kan kita tingkatkan pemahamannya, kita harus mengerti kalau kita download produk ataupun aplikasi kita tahu, kita baca juga bagaimana sebuah aplikasi mengelola data-data kita,” tegasnya.
Dicontohkannya, data-data yang bersifat spesifik antara lain data kesehatan, biometrik, genetika, pandangan politik, keuangan pribadi dan data lainnya sesuai dengan tata peraturan perundang-undangan yang ada.
“Ini yang akan kita lakukan dan sekarang ini Kominfo sudah mulai melakukannya. Bagaimana masyarakat melindungi? Karena apa? Itu bisa merugikan, contohnya yang spesifik ada keuangan. Jangan sampai kita mengumbar. Kan kita sering juga diminta one time password (OTP), dan kita nggak sadar memberikannya,” ungkapnya.
Diingatkannya, berkaitan dengan kode OTP, setiap orang wajib menyadari dan menjaga kerahasiaanya. Kode OTP itu tidak pernah diminta oleh orang, melainkan one time password itu hanya diminta oleh mesin.
"Seringkali masyarakat belum memahami bagaimana menjaga kerahasiaan tersebut. Jika ada orang yang meminta itu, maka bisa dipastikan termasuk ke dalam kategori penipuan," jelasnya.
Dijelaskannya, jika masyarakat tidak setuju dengan syarat atau kebijakan suatu aplikasi dalam melindungi data pribadi, maka jangan menggunakan aplikasi itu. Selain itu, sebisanya menghindari namanya hal-hal penting lainnya seperti membagikan akun ataupun password.
“Kalau tidak perlu, jangan ditaruh atau disimpan di HP karena jika ponsel seeorang hilang, maka saldo atau uangnya beresiko ikut hilang pula,” tegasnya.
Ditegaskannya, memang pembuat aplikasi dan pengendali data pribadi harus memastikan keandalan sistem untuk pengelolaan data sekaligus transparansi mekanisme dalam mengelola data pribadi. "Tetapi, pemilik data pribadinya pun harus menyadari bahwa pentingnya menjaga kerahasiaan data pribadinya khususnya yang spesifik," tandasnya.
Dinamis
Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid menyatakan pelindungan data pribadi saat ini merupakan aspek dinamis yang akan terus berhadapan dan dipengaruhi oleh kemajuan dan inovasi teknologi serta praktik bisnis.
Menurutnya salah satu faktor kemunculan kejahatan dan penggunaan data pribadi secara melawan hukum disebabkan oleh perkembangan teknologi, Informasi, dan komunikasi.
“Sebut saja kasus kebocoran data pribadi beberapa saat lalu. Facebook, 2018: 87 juta pengguna dunia; Lion Air 2019: 7,8 juta data penumpang bocor; Tokopedia, 2020: 91 juta data pengguna. Mengapa RUU PDP menjadi domain Komisi I, mengingat penyalahgunaan data bukan hanya menjadi persoalan pribadi, namun juga gangguan bagi pertahanan negara,” paparnya.
Sementara itu, Dosen Vokasi Universitas Indonesia, Devie Rahmawati menyatakan, migrasi kehidupan offline ke dunia online telah menemukan momentum di masa pandemi ini. Beberapa negara seperti Korea Selatan, Singapura, Mexico, dan Italia menggunakan berbagai aplikasi untuk memantau kepatuhan masyarakat menjalani protokol kesehatan serta membantu mengidentifikasi pergerakan virus.
“Aktivitas ini tentu saja menyasar data pribadi penduduk, yang dalam konteks kepentingan publik menjadi sah dilakukan, namun dalam konteks pribadi, menjadi pertanyaan, ketika data individu dipantau secara mendalam,” paparnya.(wn)