JAKARTA (IndoTelko) - Indonesian Corruption Watch (ICW) mengungkapkan adanya guyuran dana sebesar Rp90,45 miliar untuk jasa influencer atau pendengung, baik individu atau kelompok, dengan tujuan memengaruhi opini publik terkait kebijakan.
Peneliti dari ICW Egi Primayogha mengungkapkan dalam kajian ICW berjudul "Aktivitas Digital Pemerintah: Berapa Milyar Anggaran Influencer?" mengumpulkan data pada 14 hingga 18 Agustus 2020. Salah satu metode yang dipakai adalah menelusuri Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
"Total anggaran belanja pemerintah pusat untuk aktivitas yang melibatkan influencer mencapai Rp90,45 miliar untuk 40 paket pengadaan," katanya dalam konferensi pers yang digelar secara online, kemarin.
Ada total 34 kementerian, lima LPNK, dan dua institusi penegak hukum, Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian RI, yang ditelusuri oleh ICW. Penelusuran anggaran dilakukan pada periode 2014 hingga 2018.
ICW menemukan total anggaran belanja pemerintah pusat terkait aktivitas digital sepanjang tahun 2014 hingga 2020 adalah sebesar Rp1,29 triliun, dengan total 133 paket pengadaan.
Jika ditelusuri berdasarkan kata kunci, aktivitas digital banyak dilakukan melalui media sosial. 68 paket pengadaan dengan kata kunci "media sosial" total anggaran 1,16 triliun.
Dari sederet kementerian dan lembaga tersebut, Polri yang paling banyak menggelontorkan anggarannya untuk aktivitas digital yakni hingga Rp937 miliar.
Anggaran-anggaran itu dikeluarkan oleh sejumlah kementerian semakin marak sejak 2017. Berdasarkan temuannya, saat itu ada lima paket anggaran belanja dengan nilai Rp17,68 miliar.
Angka itu mengalami peningkatan di 2018 yakni 15 paket pengadaan senilai Rp56,55 miliar. Selanjutnya, di 2019 turun menjadi 13 paket pengadaan dengan total nilai Rp6,67 miliar. Sementara di 2020 hingga saat ini terdapat tujuh paket pengadaan dengan total nilai Rp9,53 miliar.
Instansi pemerintan yang banyak menggunakan para pendengung di antaranya adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dengan jumlah paket pengadaan jasa influencer sebanyak empat dengan total nilai Rp10,83 miliar. Lainnya, Kemendikbud dengan total paket pengadaan jasa influencer sebanyak 22 dan total nilai Rp1,6 miliar.
Selain itu, Kementerian Perhubungan dengan total paket sebanyak satu dan nilainya Rp195,8 juta. Kelima, Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan total paket satu dan nilainya Rp150 juta.
Untuk contoh programnya, Egi menyebut soal pengadaan sosialisasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Jasa artis Gritte Agatha dan Ayushita Widyartoeti Nugraha pun digunakan senilai Rp114,4 juta.
Kemendikbud juga menggelontorkan anggaran untuk menyosialisasikan PPDB 2019 melalui dua influencer lainnya yakni Ahmad Jalaluddin Rumi dan Ali Syakieb juga dengan nilai Rp114,4 juta.
ICW menyimpulkan bahwa pemerintahan Jokowi tidak percaya diri dengan program-programnya hingga harus menggelontorkan anggaran untuk influencer. Pemerintah seharusnya transparan dari segi anggaran, baik alokasi atau penggunaannya.
"Publik sebenarnya berhak tahu kebijakan yang menggunakan influencer dalam sosialisasinya, kebijakan mana saja. Influencer juga harus memberikan disclaimer bahwa ini adalah aktivitas berbayar atau yang didukung pemerintah dalam publikasikan postingannya," kata Egi.
Ditambahkannya, transparansi dan akuntabilitas anggaran dalam penggunaan influencer sangat lemah. Sebab tak ada tolok ukur yang dipakai ketika menentukan atau memilih seorang pemengaruh dalam menyosialisasikan kebijakan.
"Kebijakan yang menggunakan influencer apa saja? Lalu bagaimana pemerintah menentukan suatu isu butuh influencer? Bagaimana pemerintah menentukan individu yang layak menjadi influencer? Karena ini terkait akuntabilitas," tegasnya.(ak)