JAKARTA (IndoTelko) - Pertarungan menegakkan kedaulatan digital Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Bidang Postelsiar ternyata lumayan seru.
Menyusul aksi dari sejumlah pemain Over The Top (OTT) global seperti Facebook, Google, Netflix, dan Apple melalui petingginya untuk kawasan Asia Pasifik berkirim surat pada 27 Januari 2021 ke sejumlah menteri yang menyatakan keberatan atas isi RPP terutama Pasal 14 yang mencantumkan kewajiban kerjasama dengan operator telekomunikasi, tak mau kalah kali ini giliran empat asosiasi yang melakukan hal serupa.
Empat asosiasi itu adalah Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) beserta Asosiasi-asosiasi anggota yaitu Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) dan Asosiasi Pengusaha Nasional Telekomunikasi (APNATEL).
Surat dikirimkan ke Pratikno, Menteri Sekretaris Negara, Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Luhut Binsar Pandjaitan, M.P.A. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Mohammad Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Yasonna Hamonangan Laoly Menteri Hukum dan HAM, Johnny Gerard Plate, Menteri Komunikasi dan Informatika, dan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan.
Isu dari surat asosiasi itu adalah sebagai berikut:
1. Keberatan terhadap kewajiban untuk melakukan Kerjasama, yang disampaikan oleh Facebook, Google, Netflix dan Apple melalui surat tertanggal 27 Januari 2021 yang ditandatangani oleh VP Public Policy Asia Pacific/South East Asia, pada intinya membawa empat pesan, yaitu: (1) bahwa kewajiban Kerjasama akan mengganggu investasi, bahkan Indonesia jadi outlier, (2) biarkan mereka dengan pendekatan voluntary dan tidak perlu regulasi, (3) kerjasama tidak sesuai dengan prinsip net-neutrality yang diterapkan di beberapa negara dan (4) agar diserahkan kepada diskresi masing-masing pelaku usaha.
2. Menanggapi keberatan di atas, perlu Asosiasi menyampaikan dukungan kepada Pemerintah untuk menyampaikan kepada mereka, bahwa Kerjasama (istilah lainnya Gotong Royong) adalah nilai dasar dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak dulu. Kerjasama sama sekali tidak dilihat menjadi hal yang memberatkan, justru sangat diperlukan dalam rangka menjamin keberlangsungan kehidupan dalam ekosistem masyarakat tersebut, termasuk dalam ekosistem masyarakat digital. Maka sama sekali bukan hal yang aneh jika hal ini dikuatkan dalam berbagai bentuk regulasi.
Misalnya tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 tentang asas kekeluargaan, prinsip kebersamaan dalam perekonomian. Khusus untuk sektor telekomunikasi yang menjadi elemen paling fundamental dan terpenting dalam membangun masyarakat digital, lebih jelas lagi semangat Kerjasama antar penyelenggara ini telah diwajibkan dalam Undang-undang Telekomunikasi No 36 Tahun 1999, dan norma ini belum pernah dibatalkan. Maka, penolakan untuk bekerja sama adalah sikap yang tidak sesuai dengan kondisi dan situasi Indonesia.
3. Bahwa kalimat Regulasi “mewajibkan” diperlukan ketika self-regulation dan voluntary tidak lagi efektif. Pendekatan self-regulasi dan voluntary tidak cukup memadai ketika potensi dampak yang ditimbulkan adalah kompleks dan multidimensi; juga ketika regulasi tidak lagi memadai untuk dapat mengawal dan mewujudkan kepentingan nasional Indonesia dalam penyelenggaraan telekomunikasi.
Hal inilah yang terjadi dengan penyelenggaraan OTT, khususnya platform digital. Kerjasama antara penyelenggara OTT Global dengan operator nasional, berdasarkan evaluasi, pada kenyataannya belum dilakukan dengan prinsip keadilan, kesetaraan, dan belum tampak adanya upaya menuju win-win solution.
Satu sisi manfaatnya sudah demikian besar di masyarakat, bukan hanya keuntungan secara bisnis, namun juga merambah ke dimensi yang lebih besar ekonomi, sosial, budaya, politik, bahkan hankam dan ideologi. Karena itulah, para pakar regulasi dan pengambil kebijakan di dunia berpendapat bahwa tidak mungkin menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme self-regulasi dan voluntary dimana pertimbangannya diserahkan kepada diskresi pada masing-masing perusahaan. Karena itu sekitar 200-an negara di dunia sedang berusaha keras mencari bentuk regulasi yang paling tepat, sesuai dengan kondisi negaranya masing-masing, dan mewujudkan national interest masing-masing.
4. Dalam situasi internet global saat ini, justru yang diperlukan adalah upaya regulasi yang kreatif dan berani dari masing-masing negara. Kreatif karena sifat industrinya yang sangat dinamis dan multidimensi, dan berani karena semangat untuk berdaulat dalam mengatur/membuat regulasi, tidak dilemahkan oleh besarnya tekanan global.
Karena yang sedang diupayakan adalah skema kemitraan global yang mutual respect & mutual benefit. Sesuai dengan amanah UU, pemerintah harus bertindak sebagai Pembina industri, bukan sekedar fasilitasi atau perantara bisnis. Dalam kondisi seperti ini, benchmark terhadap negara lain menjadi rujukan, tapi tidak menjadi hal yang prioritas, karena semua sedang berlomba membuat regulasi yang paling tepat. (Indonesia merdeka bukan karena benchmark, justru menjadi trendsetter kemerdekaan). Selain itu, khusus untuk hal ini belum ada yang disebut sebagai best practice, baik secara de facto, apalagi de jure.
5. Kewajiban adanya Kerjasama sebenarnya adalah sebuah langkah regulasi minimalis, untuk memastikan penyelenggaraan yang saling menguntungkan dan bertanggung jawab. Selain kepentingan bisnis, penyelenggara telekomunikasi wajib patuh pada semua kewajiban dan ketentuan regulasi, apalagi yang tertuang dalam UU. Kerjasama ini dapat dilihat sebagai satu peluang untuk membagi-bagi tanggung jawab regulasi; maka sebaiknya tidak diisukan dan dikembangkan dengan berbagai prasangka buruk seperti pengaturan bandwidth sepihak yang merugikan pelanggan, dan berbagai prasangka buruk lainnya. Sudah tentu, seluruh penyelenggara melihat kualitas layanan kepada pelanggan dan pengguna akhir adalah hal penting yang selalu menjadi prioritas.
6. Net-neutrality bukanlah best practice, dan tidak pernah lepas dari perdebatan cukup sengit selama beberapa dekade di berbagai forum regulasi baik di tingkat nasional maupun internasional, dan sampai sekarang perdebatan ini masih terus berlangsung. Diantaranya karena pros dan cons yang disampaikan oleh masing-masing pihak kemungkinan memang valid, namun potensi dampak regulasi yang ditimbulkannya pun cukup kompleks dan multidimensi. Memperhatikan kondisi regulasi dan kondisi aktual yang dihadapi Indonesia sekarang dan ke depan, sejauh ini, pendekatan net-neutrality belum diadopsi dalam regulasi telekomunikasi di Indonesia. Seperti juga yang dilakukan di banyak negara-negara lain di dunia. Bahkan di Amerika Serikat sendiri, meskipun pernah diberlakukan, sejak Juni 2018 secara resmi telah dicabut, dengan mempertimbangkan berbagai kerugian yang akan dimunculkan.(ak)