telkomsel halo

Kominfo harus hati-hati jalankan ASO

10:22:49 | 26 Apr 2022
Kominfo harus hati-hati jalankan ASO
JAKARTA (IndoTelko) - Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) mengingatkan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk berhati-hati dalam menghentikan siaran analog televisi terestrial alias analog switch off (ASO).

PR2Media dalam kajian berjudul “Memastikan Hak Publik dalam Implementasi Analog Switch Off 2022” menyatakan dua tahun untuk mempersiapkan implementasi ASO adalah waktu yang sangat singkat, sementara banyak negara maju butuh waktu lebih dari lima tahun.

PR2Media memberikan catatan terkait persoalan regulasi, yang perlu dipertimbangkan sebagai rekomendasi jangka menengah. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara no. 91/P V V-X VII/2020 telah menyatakan Undang-Undang no. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, dan dalam amar putusan ketujuh MK memutuskan “menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”.

Putusan MK tersebut secara tegas memerintahkan penangguhan segala kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Program ASO termasuk dalam pengertian bersifat strategis dan berdampak luas bagi masyarakat Indonesia, sehingga Kominfo harus berhati-hati mempersiapkan dan melaksanakan program ASO agar tidak merugikan keberlanjutan penyiaran nasional sesuai UU Penyiaran dan mengutamakan hak masyarakat mengakses sumber informasi dan hiburan.

Apalagi UU Cipta Kerja mengatur jadwal ASO dengan tenggat waktu yang sangat singkat hanya dua tahun, jika dibandingkan persiapan yang dilakukan di banyak negara lain. Memang ASO di Indonesia sudah diwacanakan sejak lama, tapi regulasi dan persiapan implementasi baru dilakukan selama dua tahun ini.

UU Cipta Kerja menjadi rujukan bagi regulasi pelaksanaan ASO yaitu Peraturan Pemerintah no. 46 tahun 2021 tentang Pos,telekomunikasi, dan Penyiaran. PP tentang Postelsiar ini tidak tepat mengatur ketentuan yang bersifat sangat strategis terkait digitalisasi penyiaran terestrial.

Seharusnya ketentuan tersebut diatur dalam regulasi setingkat undang-undang agar jangan sampai preseden buruk karut-marut payung hukum migrasi siaran tV digital terulang kembali seperti Peraturan Menteri no. 22/PeR/M.KOMInFO/11/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran televisi Digital terestrial Penerimaan tetap tidak Berbayar (free to air) yang di-judicial review dan dinyatakan batal oleh Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan no. 38P/HUM/2012. “Oleh karena itu, Undang-Undang Penyiaran perlu segera direvisi secara memadai, yang akan digunakan sebagai basis kebijakan digitalisasi penyiaran terestrial,” tulis kajian tersebut.

Persoalan
Dalam kajian tersebut juga ditemukan beberapa persoalan terkait rencana ASO diantaranya masalah akses terkait migrasi siaran digital di Indonesia dapat dibagi menjadi
dua kelompok, yakni isu infrastruktur dan layanan. Isu infrastruktur berupa infrastruktur siaran digital yang belum merata di seluruh daerah dan keberadaan STB tidak bersertifikasi Kominfo. Sementara, isu layanan merujuk pada belum adanya layanan yang berdedikasi untuk kaum rentan dan lanjut usia.

Dalam kajian itu Ketua Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) Bambang Santoso mengungkapkan adanya ketidakadilan pada perizinan antara TV lokal dengan TV-TV ‘baru’.

“Televisi ‘baru’ ini sejak awal kelahirannya sudah merupakan TV Digital, seperti CNNI, CNBC, Nusantara TV, Magna Channel, dan Badar TV. Penerbitan IPP TV- TV Digital ‘baru’ ini terkesan dipermudah, karena mendapatkan IPP Tetap pada masa moratorium proses perizinan IPP Prinsip sesuai Surat Edaran Menkominfo No. 4 Tahun 2015 tentang Penundaan Proses Perizinan Bagi Pemegang Izin Prinsip Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi Secara Digital Melalui Sistem Terestrial. Sementara, bagi TV lokal, perolehan IPP merupakan syarat utama yang harus dipenuhi sebelum melakukan siaran,” katanya.

Bambang Santoso juga menilai model lelang mux saat ini diduga sebagai cara untuk mematikan TV lokal secara sistematis. Pasalnya, TV lokal tidak diberi peran sebagai penyedia mux dan mereka harus menyewa mux dengan biaya sewa yang tidak murah tiap bulannya. Padahal, stasiun-stasiun lokal ini punya infrastruktur analog yang bisa dikembangkan
menjadi infrastruktur digital, dan biaya pengembangan serta perawatan ini dinilai lebih murah ketimbang biaya sewa mux.

Selain Bambang, hal yang sama juga disampaikan oleh Hasrul Hasan dari KPID Sulawesi Selatan.

Kondisi ini ironis, pasalnya TV lokal yang sudah punya infrastruktur tidak menang lelang mux, sementara TV baru (Nusantara TV) yang belum punya infrastruktur menang lelang untuk wilayah Lampung dan Bali (Jatmiko, 2021a). Jika kondisi ini dibiarkan, maka infrastruktur di daerah milik TV lokal maupun TV swasta yang tidak menang di suatu daerah akan terbengkalai.

Tak hanya itu, ada juga ancaman PHK ratusan karyawan di stasiun transmisi daerah yang sudah ada namun tidak memenangkan lelang.

GCG BUMN
Bambang juga mengatakan bahwa sejumlah TV lokal sudah menyewa mux dan melakukan siaran digital secara full (tidak lagi simulcast), hanya saja selama ini tidak ada yang menonton karena masyarakat belum siap dengan siaran digital. “Siapa yang bertanggung jawab dengan kondisi tersebut?” tanyanya.(wn)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year