JAKARTA (IndoTelko) - Riset terbaru Twilio, platform interaksi dengan pelanggan yang menghasilkan pengalaman real-time dan terpersonalisasi untuk brand-brand terkemuka saat ini, menunjukkan sebanyak 92% pemasar digital di wilayah Asia Pasifik (APAC) percaya bahwa penghapusan cookie pihak ketiga dapat membantu memperkuat kepercayaan dalam iklan di antara konsumen dalam jangka panjang.
Mereka mengakui peluang dalam membangun kepercayaan yang lebih besar melalui penggunaan cara mengumpulkan data lain, terutama zero-party data dan first-party data.
Dalam laporan Twilio bertajuk When Consumers Control Data : How to Build Trus and Succees in the New Digital Era, menganalisis implikasi jangka panjang dari masa depan tanpa cookie yang dibentuk oleh preferensi dan harapan konsumen yang berubah seputar berbagi data. Laporan ini, yang dirilis setelah laporan The Consumer Data Revolution in Asia Pacific, mencakup temuan dari 600 pemasar di organisasi atau perusahaan yang berbasis di wilayah Asia Pasifik, yaitu tepatnya di Singapura, Hong Kong, Australia, Filipina, Indonesia, dan Jepang.
Sudah beberapa dekade, cookie pihak ketiga dianggap sebagai elemen penting dalam periklanan digital. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, cookie pihak ketiga telah memicu keraguan karena masalah pelanggaran privasi data. Berdasarkan laporan The Consumer Data Revolution in Asia Pacific, 42% dari para konsumen cenderung kurang bersedia untuk berbagi data dengan merek yang telah mengalami pelanggaran data yang signifikan.
Di tengah tekanan regulasi dan konsumen yang semakin meningkat untuk pengendalian yang lebih baik dan transparansi seputar berbagi data, browser web utama telah menghentikan dukungan terhadap cookie pihak ketiga, dan Google alan mengikuto langkah tersebut pada tahun 2024. Meskipun awalnya telah menyebabkan kecemasan di antara pelaku industri periklanan, namun mereka mulai menyadari manfaat metode baru dalam mengumpulkan dan menggunakan data dapat membangun kepercayaan konsumen yang lebih kuat.
Di dunia pemasaran, zero-party data menjadi sangat berharga bagi para pemasar digital. Data ini diperoleh secara aktif dari pelanggan melalui survei dan saluran umpan balik langsung lainnya. Dengan adanya data ini, merek-merek dapat menyesuaikan upaya pemasaran mereka berdasarkan preferensi dan motivasi masing-masing konsumen, meningkatkan layanan melalui umpan balik konsumen tentang masalah tertentu, serta memperkuat hubungan dengan menciptakan rasa kepercayaan yang lebih baik.
Riset Twilio mencatat, sebanyak 95% pemasar digital di Indonesia sudah memanfaatkan sarana pengumpulan data langsung ke konsumen (zero-party data). Dalam mengoleksi data secara langsung, pemilik brand di Indonesia menggunakan sejumlah sejumlah medium, seperti registrasi online (63%), pengisian form di website (47%), polling media sosial (47%), distribusi email (68%), pop-ups percakapan (58%), survei (58%), kontes (26%), ujicoba virtual (47%).
Pun untuk level regional Asia Pasifik. Sebanyak 92% pemasar digital juga menggunakan medium serupa untuk mengumpulkan data secara langsung dari konsumennya, terutama melalui survei (58%), jajak pendapat media sosial (52%), dan kampanye melalui email (51%).
Hal ini merupakan langkah yang tepat mengingat harapan konsumen yang semakin tinggi terkait persetujuan dan transparansi. Selain itu, 64% konsumen di wilayah tersebut lebih bersedia untuk berinteraksi atau merespons kepada merek yang secara langsung memperoleh informasi konsumen dari mereka sendiri daripada melalui pihak ketiga.
Di riset yang sama menunjukkan sebanyak 69% organisasi di wilayah Asia Pasifik juga telah beralih ke first-party data, mengingat keterbatasan visibilitas terhadap perlindungan data, kebijakan keamanan, dan prosedur pihak ketiga. Berbeda dengan data tanpa pihak yang secara sukarela dibagikan oleh konsumen kepada brand, data pihak pertama dikumpulkan secara pasif saat konsumen berinteraksi dengan saluran yang dimiliki oleh organisasi untuk memperluas atau merawat basis konsumen yang sudah ada.
Sebanyak 75% pemasar digital sudah memiliki pemahaman dasar tentang nilai positif dari first-party data, yang mencakup kemampuan untuk mempersonalisasi keterlibatan, menargetkan konsumen yang tepat, serta menyediakan ketepatan, fleksibilitas, dan kontrol yang lebih besar.
Meskipun 49% dari organisasi-organisasi di wilayah tersebut merasa lebih siap untuk menghadapi penghapusan cookie pihak ketiga daripada saat tahun 2021, masih terdapat kesenjangan dalam peralihan menuju penggunaan zero-party data dan first-party data.
Tantangan paling mendesak dalam pengumpulan data di antara para pemasar di wilayah tersebut adalah resistensi dari konsumen, yang menuntut pendekatan yang lebih cermat dalam pengumpulan data konsumen.
Berdasarkan laporan The Consumer Data Revolution in Asia Pacific, 60% dari para konsumen di wilayah tersebut mengharapkan informasi yang jelas dan dapat dipahami mengenai bagaimana data mereka akan digunakan untuk meningkatkan kepercayaan terhadap brand. Selain itu, konsumen lebih bersedia untuk berbagi data dengan merek yang memberikan pengalaman yang baik (57%) atau jujur dan transparan tentang kebijakan (57%). Menariknya lagi, konsumen secara umum terbuka untuk berbagi data yang dapat memberikan manfaat bagi mereka - hampir setengah (42%) dari para konsumen merasa nyaman menerima iklan yang ditargetkan setelah melihat-lihat produk di sebuah toko, dan lebih dari separuh konsumen mengatakan bahwa iklan yang dipersonalisasi memberikan lebih banyak pilihan setelah melakukan pembelian.
Dengan 74% dari konsumen di wilayah tersebut yang bersedia untuk berbagi informasi lebih banyak dengan merek yang dipercayai, komunikasi transparan, penggunaan data konsumen yang bertanggung jawab, dan pengiriman nilai yang konsisten sepanjang konsumen terlibat akan menjadi langkah untuk semakin maju ke depan.
Dikatakan Wakil Presiden Pemasaran, Asia Pasifik & Jepang, Twilio, Nicholas Kontopoulos, dalam revolusi data konsumen yang baru, sangat penting bagi para pebisnis untuk mempertimbangkan kembali pendekatan mereka terhadap data guna mendorong keterlibatan yang lebih berdampak untuk konsumen.
"Sekarang, kepercayaan menjadi faktor penentu kesuksesan pemasaran, sehingga para merek perlu lebih transparan dalam berkomunikasi tentang bagaimana mereka menggunakan data untuk menghasilkan nilai yang bermakna bagi konsumen," katanya. (mas)