JAKARTA (IndoTelko) – Pemerintah diingatkan untuk tidak meneruskan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 52 tahun 2000 yang mengatur tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan PP 53 tahun 2000 tentang frekuensi dan orbit satelit karena tidak sesuai dengan azas keterbukaan di era demokrasi.
“Revisi kedua PP itu tak memenuhi good governance dalam pembentukan kebijakan publik. Boleh saja kita berdebat urusan konten, tetapi masalahnya revisi itu tidak melalui melalui proses pengambilan kebijakan publik yang memenuhi syarat. Ini sudah melanggar norma-norma demokrasi yang susah payah diperjuangkan pada 1998 lalu,” ungkap Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi, kepada IndoTelko, Senin (25/7).
Menurutnya, salah satu bukti tak transparannya revisi kedua PP tersebut adalah masyarakat tak bisa mengakses draft melalui portal resmi milik Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
“Ini berbeda sekali dengan Rancangan Peraturan Menteri atau RPP yang digodok Kemenkominfo. Sebaiknya revisi kedua PP itu diulang dalam pembuatannya untuk memperoleh masukan publik agar comply terhadap UU pembentukan peraturan dan perundangan. Kalau mau ksatria sih, yang usulin revisi RPP ini juga mundur jugalah,” tegasnya.
Diingatkannya, dibutuhkannya keterlibatan publik dalam revisi kedua PP tersebut karena menyangkut kebijakan publik yang strategis dimana akan diubahnya aturan main terhadap penggunaan sumber daya alam terbatas, kewajiban pembangunan infrastruktur oleh operator telekomunikasi, dan masuknya model bisnis baru seperti Mobile Virtual Network Operator (MVNO).
“Dari berita di media massa kan jelas revisi kedua PP akan mengakomodasi network dan frekuensi. Ini jelas menyangkut kebijakan public, tetapi tidak melibatkan publik dalam pembuatannya sehingga dipastikan melanggar Hak publik serta wajar jika isinya dipertanyakan publik. Saya rasa semua pengamat dan pejabat pembuat kebijakan publik semestinya paham hal ini,” sindirnya.
Ditegaskannya, tanpa transparansi, kebijakan publik pada Network sharing dan frekuensi sharing dapat dipastikan tidak akuntable dan patut diduga banyak pasal yang memang sulit diterima oleh publik sehingga dalam proses pembuatannya ditutupi. “Ini perilaku pembodohan publik yang seharusnya tidak terjadi diera keterbukaan dan supermasi sipil,” tutupnya.
Seperti diketahui, dari kabar beredar mengatakan dalam salah satu revisi pasal PP No. 53/2000 memunculkan peluang izin dapat dipindahtangankan sehingga berpotensi terjadi jual beli spektrum.
Dalam pasal yang direvisi itu dinyatakan pemegang izin penggunaan spektrum radio yang merupakan penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat menyewakan jaringan telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya dan atau penyelenggara jasa komunikasi. (
Baca juga: Revisi regulasi cacat moral)
Tak hanya itu, ada juga revisi pasal yang menjadikan berbagi jaringan menjadi sebuah kewajiban bukan bagian dari kesepakatan bisnis. Dalam pasal itu kabarnya berisi bagi operator dominan diwajibkan membuka akses bagi pemain baru di sebuah area jika pemain tersebut kesulitan dalam pembangunan infrastruktur. (
Baca juga:
Kegagalan menkominfo di revisi regulasi)
Sedangkan dalam revisi PP 52 tahun 2000 akan ada perubahan model lisensi bagi penyelenggara telekomunikasi dengan tidak lagi menitikberatkan kepada pembangunan infrastruktur tetapi di service level agreement (SLA). (Baca juga:
Revisi regulasi bagi MVNO)
Revisi ini akan membuka peluang bagi MVNO yang hanya membutuhkan kerjasama dengan operator jaringan yang memiliki alokasi spektrum frekuensi serta lisensi jaringan akses.(id)