ALOR (IndoTelko) - Penguasa seluler nasional, Telkomsel, resmi menyatakan keberatan dengan hitung ulang biaya interkoneksi yang diumumkan pemerintah melalui surat Edaran No 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016 pada 2 Agustus 2016.
Dalam surat edaran tersebut dinyatakan per 1 September 2016 biaya interkoneksi secara rerata untuk 18 skenario panggilan seluler akan turun 26%. Misalnya, untuk panggilan lokal seluler dari Rp 250 menjadi Rp 204.
"Kami tidak puas dan keberatan dengan hasil hitung ulang biaya interkoneksi itu. Telkom Group telah kirim surat resmi ke Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan sikapnya serta mengharapkan surat tersebut dibalas dulu sebelum Menkominfo mengambil keputusan. Soalnya ini kan baru surat edaran, jadi masih bisa diperbaiki," tegas Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah di Alor, Selasa (23/8) malam.
Diungkapkannya, hal yang menjadi keberatan dari Telkomsel dalam hitung ulang tersebut adalah karena metode perhitungan tak mencerminkan kondisi riil di lapangan. "Dulu itu setiap revisi biaya interkoneksi selalu ada kesepakatan antara operator. Misal, penggunaan cara simteris dengan menggunakan angka Telkomsel, itu ada kesepakatan. Nah, kalau yang ini tak ada kesepakatan, diumumkan," ungkapnya.
Menurutnya, perhitungan biaya interkoneksi harusnya mengacu kepada murni berbasis biaya (cost based) dengan melihat berapa belanja modal, beban operasional, dan rencana dalam lima tahun ke depan, setelah itu divalidasi dan angka yang keluar dimasukkan ke rumus yang telah disepakti. "Berapapun angka yang keluar nantinya, itu yang disepakati. Kalau yang sekarang proses dan cara berhitungnya tak pas," tegasnya.
Dalam kacamata Ririek, pola simetris yang digunakan regulator dalam menetapkan biaya interkoneksi justru merugikan Telkomsel sebagai operator yang paling banyak membangun jaringan. "Ini praduga saya revisi biaya interkoneksi digunakan untuk memangkas competitive advantage yang dimiliki Telkomsel dalam pembangunan jaringan. Ini bikin kompetisi tak fair dan tak sehat," tukasnya.
Ditambahkannya, biaya interkoneksi yang salah hitung dan berujung terlalu rendah malah menjadikan ketimpangan di jaringan seluler karena operator makin malas membangun infrastruktur. "Bagi yang punya jaringan sedikit akan berfikir, ngapain bangun banyak, wong sudah disetarakan dengan yang punya jaringan besar. Kalau begini kapan Indonesia punya infrastruktur telekomunikasi yang merata," katanya.
Dijelaskannya, biaya interkoneksi adalah recovery cost bagi operator sehingga tak boleh ada salah satu pihak yang merasa dirugikan dalam penetapannya. Telkomsel sejak beberapa tahun lalu telah agresif membangun jaringan sehingga pameo harga teknologi makin murah tak bisa terjadi karena belanja infrastruktur dalam skala banyak terus dilakukan. Hal itu tercermin dari alokasi belanja modal Telkomsel yang terus naik setiap tahunnya.
"Kalau dilihat kan itu harusnya nanggung setengah-setengah antara operator kala sambungan terjadi. Saya kasih tahu, hitungan kita harusnya biaya interkoneksi Rp 285. Nah, Anda bayangkan dengan Rp 250 saja kita harus tutup yang kurang dari pihak lain. Ini Rp 204, kalah dua kali dong kita. Kalah di recovery cost, kalah pula dari yang dibayar oleh pengguna jaringan, adil gak tuh," ulasnya. (
Baca: Telkomsel dan biaya interkoneksi)
Diharapkannya, Menkominfo Rudiantara merespons surat resmi dari Telkom Group terkait biaya interkoneksi itu. "Kita tak mau berandai-andai, tetapi semua opsi disiapkan kalau tetap tak ada perubahan sikap dari regulator. Bisa mempertanyakan, menerima, atau mengadukan," tegasnya.
Beban riil
Secara terpisah, Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Noor Iza menjelaskan biaya interkoneksi hanya akan menjadi beban riil saat trafik antar operator tidak berimbang. Pada kondisi tidak berimbang, maka biaya interkoneksi menjadi biaya bagi operator yang mengirim trafik lebih banyak. "Pada saat ini posisi penerimaan biaya interkoneksi oleh penyelenggara yang menerima trafik kurang lebih 3% dari penerimaan total," ungkapnya dalam pesan singkat kepada IndoTelko, kemarin.
Menurutnya, efisiensi dari penerimaan 3% ini akan meningkatkan penerimaan total karena dapat membuat tarif retail offnet (panggilan beda operator) lebih rendah dan mendorong volumenya tinggi. Dengan perkataan lain, penurunan disisi 3% akan disertai kenaikan di sisi 97%.
"Ada kekuatiran bahwa penurunan biaya interkoneksi ini akan menurunkan pendapatan dari tarif retail, khususnya tarif panggilan offnet. Untuk itu perlu dijelaskan bahwapada tarif retail akan diatur batasan rasio dari tarif on-net (tarif panggilan sesama operator) dengan tariff offnet (panggilan beda operator) yang ada komponen biaya interkoneksi. Batasan diharapkan mendorong penurunan tarif offnet yang saat ini rasionya sangat tinggi dengan onnet," katanya.
Dijelaskannya, batasan ini tidak akan mengubah harga efektif tarif offnet yang diterapkan operator karena masih diberi kebebasan berinovasi dalam pentarifan offnetnya, baik dari sisi promosi dan waktu. Dengan pertimbangan ini diperkirakan bahwa kebijakan penurunan biaya interkoneksi tidak akan berdampak signifikan pada kinerja finansial operator, termasuk berdampak menurunkan kemampuan membangun jaringan oleh operator dan menurunkan pembayaran kewajiban operator kepada pemerintah.
Disatu sisi akan meningkatkan pendapatan net operator karena akan mengurangi biaya interkoneksi sebagai beban. Disisi lain operator akan diberikan ruang untuk semakin berinovasi dalam membangun produk layanan suara yang inovatif. (
Baca:
Biaya interkoneksi menyesatkan)
"Terkait dengan pendapat bahwa biaya interkoneksi akan mendorong operator tidak agresif dalam membangun jaringan karena biaya jaringan yang rendah, maka dapat disampaikan bahwa seperti dijelaskan di atas,biaya interkoneksi akan menjadi beban riil yang apabila trafik tidak berimbang dimana satu operator lebih banyak menerima panggilan dari pada membuat panggilan kepada operator lain," katanya. (
Baca:
Biaya interkoneksi bagi operator)
Biaya interkoneksi adalah salah satu komponen dari tarif retail. Saat ini tarif interkoneksi yang diberlakukan di Industri hanya dibawah 20% dari tarif retail lintas operator yang dibayarkan oleh pelanggan. Kisaran biaya interkoneksi Rp 250 terhadap tarif retail lintas operator Rp 1500. Sedangkan formula tarif retail terdiri dari biaya interkoneksi, service activation fee, dan margin. (
Baca: Menanti dampak biaya interkoneksi)
Perhitungan tarif interkoneksi baru memilih penerapan perhitungan pola simetris atau tidak berbasis biaya penggelaran jaringan yang telah diinvestasikan oleh masing-masing operator.(dn)