JAKARTA (IndoTelko) – Penyedia layanan on demand service di segmen transportasi (ridesharing) dianggap tak bisa lepas dari kewajiban pajak layaknya para pebisnis taksi konvensional.
"Solusinya sebenarnya mudah, tinggal kemauan melakukan koordinasi agar persoalan pajak terhadap taksi online dapat segera diselesaikan," kata pengamat pajak, Roni Bako, kemarin.
Diungkapkannya, soal data tidak menjadi soal tinggal berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika mereka memiliki kewenangan untuk membuka data perusahaan aplikasi yang beroperasi di Indonesia.
"Jadi persoalannya sebenarnya tinggal koordinasi saja untuk memungut pajak taksi online. Seharusnya persoalan pajak taksi online ini dapat diselesaikan dengan cepat," ujarnya.
Menurutnya, jika badan usahanya belum ada maka yang dikenakan pajak bisa langsung kepada pengemudinya, karena saat ini setiap warga negara sudah memiliki NPWP, tinggal dipungut saja dari situ.
Hal senada juga dikemukakan pengamat pajak Universitas Indonesia, Darussalam yang mengatakan taksi online seharusnya juga dikenakan pajak. Kalau persoalan badan usahanya belum selesai, maka pungutan pajak dapat dikenakan langsung kepada pengemudinya, ujar dia.
Jenis-jenis pajak yang menjadi kewajiban pelaku usaha transportasi diantaranya berupa PPH badan, PPH pribadi dan pajak transaksi, serta pajak keuntungan.
Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan telah mengeluarkan aturan bagi taksi berbasis aplikasi seperti Uber Taksi dan Grab Car. (
Baca:
Polemik Taksi Online)
"Harus mengikuti Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraaan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek," kata Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenhub Hemi Pamuraharjo.
Hemi menjelaskan peraturan yang harus diikuti, di antaranya harus memiliki SIM umum, harus berbadan hukum atau bekerja sama dengan badan hukum, surat tanda nomor kendaraan (STNK) harus diubah dari atas nama pribadi menjadi atas nama perusahaan serta mobil harus diuji KIR.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center For Indonesia (Cita) Yustinus Prastowo juga telah meminta pemerintah menindak tegas pelaku transportasi online sebelum membangun Badan Usaha Tetap (BUT) di sini.
Menurutnya, para penyelenggara sistem elektronik (PSE) harus berkantor pusat di sini agar dapat terdaftar sebagai wajib pajak.
Dikatakannya, selama ini pelaku eCommerce seolah mengakali aturan. Mereka membuat kantor formalitas tanpa menjalankan aktivitas. Artinya, subjek pajak tidak bisa ditarik karena mereka hanya menjalankan service untuk kantor di luar negeri. “Pemerintah harus segera ambil langkah tegas apapun ini. Di sini pemerintah yang memiliki andil besar, sambil menyelesaikan semua regulasi terkait aplikasi online,” katanya.(id)