JAKARTA (IndoTelko) – Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mulai menggarap Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI) yang disetor Telkom dan Telkomsel ke regulator pada pekan pertama September ini.
“Hari ini dimulai proses evaluasi DPI milik operator dominan. Proses evaluasi selama 10 hari kerja dan harus sudah dijawab ke mereka dalam 10 hari kerja itu,” ungkap Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Noor Iza di Jakarta, Selasa (13/9).
DPI merupakan dokumen berisi acuan kerjasama interkoneksi antara satu operator dengan yang lainnya. Dokumen ini disusun oleh semua operator dengan merujuk pada Dokumen Petunjuk Penyusunan DPI (P2DPI) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 Tahun 2006 tentang interkoneksi.
Hasil perhitungan biaya interkoneksi ini menjadi referensi bagi penyelenggara telekomunikasi (lokal dan selular) untuk diterapkan di sistem dan jaringan serta Point of Interconnection (PoI) di operator tersebut.
Penyusunan DPI mengacu kepada angka biaya interkoneksi yang dikeluarkan Kementrian Komunikasi dan Informatika.
Terbaru, mengacu pada Surat Edaran (SE) No. 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016, tanggal 2 Agustus 2016, tentang Implementasi Biaya Interkoneksi Tahun 2016 yang secara rerata biaya interkoneksi turun 26% bagi 18 skenario panggilan untuk jasa seluler
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) merilis Surat Edaran Nomor 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016. SE yang dirilis pada 2 Agustus 2016 lalu itu memuat acuan biaya interkoneksi terbaru dengan Rp204 per menit dari Rp250 per menitnya. (
Baca:
Kisruh Interkoneksi)
Kontroversi
Hitung ulang revisi biaya interkoneksi pada periode Menkominfo Rudiantara bisa dikatakan paling alot dan panas sejak PM No 8 Tahun 2006 tentang interkoneksi dikeluarkan.
Dosen Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sony Maulana Sikumbang, menyoroti keluarnya Surat Edaran untuk revisi biaya interkoneksi yang cacat hukum dan hanya untuk konsumsi kalangan internal di pemerintahan tanpa harus diikuti oleh orang banyak.
Diungkapkannya, hingga saat ini ada ribuan Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Lembaga dan Kementerian. Tetapi, dari Lembaga dan Kementerian tersebut, hanya Bank Indonesia yang memiliki kekuatan dalam mengeluarkan Surat Edaran.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf menyarankan adaya aturan yang jelas soal biaya interkoneksi yang wajar.
KPPU melihat biaya interkoneksi yang ada sekarang tidak memberikan rasa keadilan karena banyak operator menggunakan surplus di tarif offnet (lintas operator) untuk mensubsidi panggilan ke sesama pelanggan (on nett)
Sedangkan Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi menilai hal yang wajar jika panggilan Off nett berbiaya mahal, karena melibatkan dua operator. Hal ini juga sama dengan wajar jika biaya masing-masing operator dalam interkoneksi berbeda-beda.
Ridwan menyarankan jika pemerintah menginginkan adanya tarif ritel yang terjangkau ke pelanggan, terdapat dua model yang bisa dipilih yakni simetris dan asimetris.
Bila menggunakan simetris dalam penerapannya penentuan tarif tidak berdasarkan biaya jaringan setiap operator. Di konsep ini tidak memperhitungkan modal atau biaya masing-masing operator, semua operator dibayar berdasarkan biaya yang dikeluarkan operator dominan, dalam hal ini Telkomsel.
Sementara konsep asimetris adalah dihitung berdasarkan biaya masing-masing operator, maksimum akan didapat angka Rp405. Angka 405 diperoleh dari biaya maksimum pertama (milik Telkomsel) dan biaya maksimum kedua (milik Tri, Rp 120).
Pengamat ekonomi dari Financial Report Institute Muhammad Ikhsan Modjo menilai interkoneksi menjadi elemen penting untuk memastikan tingkat kempetisi yang efektif dalam layanan di suatu negara.
Menurutnya, penurunan biaya interkoneksi membuka peluang besar bagi industri telekomunikasi. "Ketika biaya interkoneksi turun justu menjadikan kompetisi bukan lagi terbatas persaingan kuatnya modal, tapi mendorong hadirnya inovasi produk dan jasa pelayanan kepada konsumen. Tingkat harga yang dibayarkan konsumen tidak serta merta merefleksikan struktur ongkos produksi provider, dengan alasan praktek monopoli dan kolatif oligopoli bahwa recovery cost suatu operator tinggi karena faktor pembangunan infrastruktur tidak sepenuhnya tepat," katanya.
Sementara Anggota Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi menegaskan surat edaran yang dikeluarkan pada 2 Agustus lalu sebagai surat referensi bagi regulator mengevaluasi DPI pemain dominan (Telkom dan Telkomsel). (
Baca:
DPI Telkom Group)
"Surat edaran ini merupakan produk tata usaha negara. Jika ada yang beranggapan di luar produk hukum peundang-undangan, tidak apa-apa. Tapi surat edaran ini adalah produk tata usaha negara. Kebijakan yang diambil sesuai kewenangan menteri," tegasnya.(id)