JAKARTA (IndoTelko) – Rencana Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) melakukan revisi biaya interkoneksi diyakini tak akan menyelesaikan inefisiensi di industri telekomunikasi yang bersumber pada tata kelola perizinan.
“Revisi biaya interkoneksi hanya mengintervensi pasar tapi tak menyelesaikan inefisiensi yang bersumber pada tata kelola perizinan,” tegas Anggota Ombudsman Republik Indonesia Alamsyah Saragih di Jakarta, Selasa (20/9).
Menurutnya, kisruh biaya interkoneksi hanya rentetan dari persaingan tak sehat yang bersumber dari tata kelola izin yang tidak transparan pada masa lalu. Patut diduga telah terjadi maladministrasi dalam pemberian izin selama ini berupa praktek diskriminasi dalam pembebanan kewajiban antaroperator.
“Cara cerdas untuk keluar dari polemik ini adalah membuka dokumen izin frekuensi dan hasil evaluasinya ke publik. Setidaknya agar publik tahu bahwa pelayanan izin frekuensi terbebas dari diskriminasi dan maladministrasi,” tandasnya.
Asal tahu saja, industri telekomunikasi sangat padat modal. Tak mudah untuk masuk dan tidak pula mudah untuk keluar. Untuk memastikan interkoneksi antarpelanggan yang berbeda operator, Kementerian Komunikasi memfasilitasi kesepakatan tarif interkoneksi antaroperator melalui hubungan bisnis ke bisnis.
Tarif interkoneksi adalah biaya yang harus dibayarkan suatu operator kepada operator lain ketika pelanggannya menghubungi pelanggan operator lain. Penerapan tarif interkoneksi ini dinilai wajar karena pelanggan suatu operator juga memanfaatkan jaringan yang dimiliki oleh operator lain ketika menghubungi pelanggan beda operator.
Awalnya diterapkan tarif simetris yang mendekati penawaran oleh Telkomsel sebagai operator terbesar. Dalam perkembangan, Kominfo bermaksud untuk menurunkannya. Namun upaya ini mendapat perlawanan dari Telkom Group.
Saat ini perseteruan meluas dan mulai melibatkan publik. Ada protes dari serikat pekerja BUMN, gugatan ke pengadilan oleh pengacara publik, dan terakhir Kominfo dilaporkan ke Ombudsman RI. (
Baca:
Polemik Interkoneksi)
Badan Regulasi Telkomunikasi Indonesia (BRTI) tengah mengevaluasi Daftar Penawaran Interkoneksi milik Telkom dan Telkomsel.
DPI merupakan dokumen berisi acuan kerjasama interkoneksi antara satu operator dengan yang lainnya. Dokumen ini disusun oleh semua operator dengan merujuk pada Dokumen Petunjuk Penyusunan DPI (P2DPI) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 Tahun 2006 tentang interkoneksi. (
Baca:
DPI Telkom Group mulai digarap)
Penyusunan DPI mengacu kepada angka biaya interkoneksi yang dikeluarkan Kementrian Komunikasi dan Informatika. (
Baca:
Kisruh Interkoneksi)
Terbaru, mengacu pada Surat Edaran (SE) No. 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016, tanggal 2 Agustus 2016, tentang Implementasi Biaya Interkoneksi Tahun 2016 yang secara rerata biaya interkoneksi turun 26% bagi 18 skenario panggilan untuk jasa seluler. Dalam surat tersebut acuan biaya interkoneksi terbaru Rp204 per menit dari Rp250 per menitnya.
Namun, sumber IndoTelko mengungkapkan DPI yang dimasukkan Telkom menggunakan perhitungan sendiri walau menggunakan formula dan data input yang sudah divalidasi Kominfo. Artinya, Telkom Group tak mengikuti SE yang dikeluarkan pada 2 Agustus lalu.(id)