telkomsel halo

Komisi I DPR akan awasi revisi aturan penyelenggaraan telekomunikasi dan frekuensi

08:26:31 | 06 Okt 2016
Komisi I DPR akan awasi revisi aturan penyelenggaraan telekomunikasi dan frekuensi
Sheilya Karsya (kedua kiri) menyerahkan surat pernyataan tentang revisi PP 52 dan 53 Tahun 2000 ke Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari (kedua kanan), di Jakarta, Rabu (5/10).
JAKARTA (IndoTelko) – Komisi I DPR RI akan mengawasi proses revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP Nomor 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit agar tidak menimbulkan kontroversi.

Hal itu disampaikan Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari, setelah menerima perwakilan dari Lembaga Independen Pemantau Kebijakan Publik yang dikomandoi Sheilya Karsya. Dalam pertemuan Rabu siang (5/10) di Komisi I DPR RI, turut hadir Wakil Ketua Komisi I Meutya Hafidz dan sejumlah anggota Komisi I lainnya.

"Kami berterima kasih atas aspirasi yang telah disampaikan terkait dengan revisi PP 52 dan 53 Tahun 2000. Tapi yang perlu saya sampaikan, meskipun revisi PP adalah domain pemerintah, DPR punya tanggung jawab mengawasi agar proses revisi taat azas dan tidak menimbulkan masalah," kata Abdul.

Dalam pertemuan itu, Lembaga Independen Pemantau Kebijakan Publik menyampaikan keluhan tentang proses revisi PP 52 dan 53 Tahun 2000 yang dinilai kurang transparan.

Selain tidak transparan, revisi PP tidak sesuai dengan semangat pemerintah mendorong penyediaan jaringan telekomunikasi nasional sesuai UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

"Kami berpandangan bahwa proses revisi PP tidak sesuai dengan azas-azas dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang seharusnya terbuka, transparan dan melibatkan unsur masyarakat dalam memberikan masukan. Kenyataannya, revisi PP berjalan tertutup. Padahal sebelumnya kami telah mendatangi dan meminta Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) agar proses revisi PP dapat berjalan terbuka," sesal Sheila.

Lembaga itu juga menilai langkah Menkominfo Rudiantara dalam proses revisi PP tersebut selain melanggar UU juga berpotensi merugikan negara. (Baca: Revisi PP Telekomunikasi)

"Secara bisnis, kebijakan network sharing dan spectrum sharing dalam revisi PP 52 dan 53 Tahun 2000 justru membuat operator telekomunikasi kian malas dan condong mengandalkan operator eksisting dengan risiko jangka panjang yang besar, karena lebih banyak mengandalkan satu jaringan telekomunikasi tanpa back-up, khususnya untuk kawasan pelosok seperti di luar Jawa," katanya.

Hal ini menurutnya tentu harus diperhitungkan dengan baik, jika terjadi kerusakan maka masyarakat akan kesulitan memperoleh layanan telekomunikasi karena hanya dibebankan pada satu jaringan telekomunikasi saja.  

"Kami mendesak DPR RI khususnya Komisi I agar segera memanggil dan mengadakan rapat dengan Menkominfo Rudiantara atas rencana revisi PP 52 dan 53 Tahun 2000 yang cacat hukum. Jika pada akhirnya PP hasil revisi tetap dijalankan, kami akan melakukan judicial review karena meyakini bahwa PP tersebut bertentangan dengan payung hukum diatasnya yaitu UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi," tegasnya.

Memperjelas
Secara terpisah, Anggota Komisioner BRTI I Ketut Prihadi Kresna menjelaskan tujuan revisi kedua PP tersebut adalah memperjelas praktik yang selama ini dijalankan di industri telekomunikasi. “Kita tak mau yang terjadi dengan Indosat Mega Media (IM2) dan Indosat itu terulang. Ada perbedaan persepsi antara regulator teknis dengan penegak hukum soal penggunaan frekuensi,” tegasnya.  

Dikatakannya, dalam revisi ini pemerintah berusaha meluruskan ada perbedaan antara penyelenggara jasa yang menggunakan spektrum dan penyelenggara jasa yang menggunakan jaringan.

“Di revisi PP ini kami berusaha menjelaskan penyelenggara jaringan dapat menyewakan jaringannya kepada pengguna, dimana pengguna itu ada penyelenggara jaringan dan jasa. Kami berusaha mendetailkan apa itu penyelenggara telekomunikasi yang mnggunakan spektrum radio dapat menyewakan jaringannya kepada penyelenggara jaringan dan jasa,” katanya.

Lebih lanjut dikatakannya, pemerintah berusaha mewujudkan Nawacita dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan meningkatkan penetrasi dan infrastruktur broadband di seluruh Indonesia.

“Kita kan lihat kondisi masing-masing operator seluler dan penyelenggara jaringan tetap lokal itu tidak mungkin semuanya membangun masing-masing jaringan hingga ke seluruh pelosok. Nah untuk mendukung efisiensi kita berikan mekanisme dan syarat apabila penyelenggara jaringan telekomunikasi akan menyewakan jaringan ke penyelenggara telekomunikasi lain,” katanya. (Baca: Kerjasama MORAN)

GCG BUMN
Misalnya, untuk jasa seluler ada Multi Operator Radio Access Network (MORAN) dan multi operator core network (MOCN). “MOCN itu  bagian dari network sharing yang memang harus diatur agar nantinya aparat hukum tidak sampai pada kesimpulan network sharing berbeda dengan spektrum sharing. Jangan sampai MOCN nantinya dianggap penggunaan bersama spectrum,” tutupnya.(id)

Ikuti terus perkembangan berita ini dalam topik
Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year