telkomsel halo

Revisi aturan penyelenggaraan telekomunikasi dan frekuensi rawan transfer pricing

11:13:51 | 12 Okt 2016
Revisi aturan penyelenggaraan telekomunikasi dan frekuensi rawan transfer pricing
Teknisi di salah satu BTS milik operator.(dok)
JAKARTA (IndoTelko) – Pemerintah diminta untuk berhati-hati dalam melakukan perubahan terhadap PP Nomor 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan perubahan terhadap PP Nomor 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit karena bisa memunculkan praktik transfer pricing mengingat pemain seluler di Indonesia didominasi pemain asing.

Transfer pricing adalah bentuk praktik pengalihan biaya dari sebuah nilai barang atau jasa antara beberapa perusahaan dalam satu nama besar sehingga menggeser laba yang harusnya masuk kas dalam negeri ke perusahaan induk asing.

“Dengan struktur kepemilikan operator yang dimiliki asing, rawan terjadi praktik transfer pricing atau pergeseran laba ke luar negeri dan Indonesia tidak menikmati keuntungan,” ungkap Direktur Eksekutif Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo dalam sebuah diskusi, kemarin.

Menurutnya, kebijakan yang dibuat Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) membuat ada  pemain yang diuntungkan dan dirugikan jika dijalankan. “Pertama, itu biaya interkoneksi kan simetris artinya harga satu. Jelas Harga Pokok Produksi (HPP) operator itu beda, bagi yang HPP rendah tentu dapat marjin, nah yang HPP tinggi siapa yang nanggung sunk cost? Kan harusnya dari biaya interkoneksi,” ulasnya.

Kedua, jika revisi kedua PP yang merupakan turunan dari Undang-undang telekomunikasi itu dijalankan, bica memicu praktik monetisasi frekuensi di secondary market.
“Nah, ini kalau dilihat yang untung banyak sebagian operator, tetapi paling rugi operator yang sudah banyak bangun dan negara karena potensi pajak hilang,” ulasnya.

Diingatkannya, jika pun nanti terjadi profit yang bertambah dari penerapan network sharing tidak selalu meningkatkan penerimaan negara lewat pajak. Jika revisi itu resmi diberlakukan, maka hanya beberapa operator seluler yang menanggung keuntungan dari adanya network sharing. Sebagian besar keuntungan tersebut nantinya justru bakal mengalir ke kantong perusahaan induk mereka di luar Indonesia, sehingga kontradiktif terhadap upaya tax amnesty.

Diungkapkannya, dalam pencatatan keuangan di Indonesia salah satunya yang banyak diakali adalah Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Penarikan item ini di Indonesia jika sebuah perusahaan untung.

“Laba bisa di-create mau untung atau rugi. Rugi bisa terjadi karena rugi fiskal akibat selisih kurs, biaya bunga, dan lainnya. Bahkan ada yang canggih seperti memasukkan item yang bisa menekan keuntungan atau menggeser keuntungan, padahal secara akademis bisa dilihat itu substance to perform atau tidak. Kalau kita menganut pajak dikenakan atas omzetnya, itu gampang ngawasin-nya. Tapi, karena kita basisnya profit, profit bisa di-create dan tampaknya merugi. Ini harus cermat melihatnya," ungkapnya.

Merujuk pada laporan keuangan 2015, lanjutnya, hanya Telkomsel yang membayar pajak PPh badan. Sedangkan, XL Axiata dan Indosat Ooredoo tidak dikenakan PPh badan karena perusahaan merugi. "Keduanya tidak bayar pajak PPh Badan karena merugi. Rugi fiskal karena selisih kurs, ada biaya bunga, itu yang mengherankan sebenarnya. Industri telekomunikasi sampai merugi," sesalnya.

Pada kesempatan sama, Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih menolak revisi PP No.52/2000 dan PP No.53/2000 yang diinisiasi Kementerian Komunikasi dan Informatika karena dianggap cacat secara administrasi.

"Ombudsman RI tidak setuju dengan revisi ini, karena kami tidak melihat batasan yang diperlukan agar kebijakan bukan hanya menguntungkan satu pihak" tegas Alamsyah. (Baca: Revisi aturan telekomunikasi)  

Alamsyah dan Prastowo, menganjurkan untuk implementasi network sharing bisa diberlakukan di wilayah rural yang tak padat penduduk seperti yang sudah dilakukan oleh Malaysia yang menerapkan sistem berbagi jaringan di area-area perbatasan. Ini akan membuat kewajiban operator untuk menyediakan akses komunikasi yang merata bisa segera terwujud dan tidak ada lagi kesan monopoli oleh operator tertentu di satu area. (Baca: Kerugian Network sharing)

Secara terpisah, Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi  (LPPMI) Kamilov Sagala mengingatkan, revisi kedua PP tersebut jika dijalankan menyimpan potensi moral hazard dan bisa melempangkan praktik Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) di industri telekomunikasi. (Baca: Revisi aturan telekomunikasi)

GCG BUMN
“Saya itu paling khawatir jika ini (hasil revisi) dijalankan nilai birokrat dianggap bagian dari korporasi, sementara permainan korporasi dibawa ke birokrat. Meminjam istilah Mantan Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli, kolaborasi Penguasaha, Pengusaha (PengPeng) ini yang berbahaya mengatur industri. Sebaiknya dibuka draft dan konsultasi publik yang lebih transpran saja agar tak menjadi ghibah di kemudian hari,” tutupnya.(id)

Ikuti terus perkembangan berita ini dalam topik
Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year