JAKARTA (IndoTelko) – Forum Masyarakat Peduli Telekomunikasi Indonesia (FMPTI) menilai pembentukan PT One Indonesia Synergy (OIS) oleh PT XL Axiata Tbk (XL) dan PT Indosat Tbk (ISAT) atau Indosat Ooredoo terindikasi merupakan tindakan yang berpotensi merugikan negara, karena melanggar Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
"Adanya perjanjian untuk membentuk usaha joint venture antara XL dan Indosat Ooredoo dengan membentuk sebuah perusahaan bernama OIS tentu menjadi sebuah pintu masuk potensi besar terjadinya kartel dan trust," kata Ketua Forum Masyarakat Peduli Telekomunikasi Indonesia (FMPTI) Rofiq Setyadi dalam rilisnya, Jumat (21/10).
Menurutnya, dalam memahami pasal ini, tidak harus menunggu terlebih dahulu dampak yang ditimbulkan oleh OIS seperti pada klarifikasi yang disampaikan oleh XL dan Indosat Ooredoo dalam pemberitaan di media-media massa. Sebab yang disebutkan dalam Pasal 12 UU tersebut tidak mensyaratkan adanya dampak yang ditimbulkan. "Dengan melakukan perjanjian saja sebenarnya tidak diperbolehkan UU, apalagi sampai membentuk gabungan perusahaan,” katanya.
Mengutip ahli yang dihadirkan oleh FMPTI di hadapan KPPU, diindikasikan juga terdapat pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 9 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan XL dan Indosat Ooredo dalam pembentukan OIS. Mengacu pada pasal-pasal tersebut, apa yang disampaikan oleh Ketua Komisioner KPPU terhadap laporan FMPTI sesuai dengan pendapat ahli yang diajukan oleh FMPTI.
“Pernyataan Ketua Komisioner KPPU sudah tegas dan memiliki dasar hukum yang kuat. Oleh sebab itu, laporan yang disampaikan oleh FMPTI adalah sebuah laporan yang berdasar dan bukan laporan yang mengada-ada,” tegas Rofiq.
"Tujuan pendirian OIS, seperti yang disampaikan oleh CEO PT XL Axiata Dian Siswarini dalam berbagai kesempatan, adalah termasuk eksplorasi kerjasama pengembangan 4G, termasuk kerjasama jaringan contohnya RAN sharing. Hal ini semakin mempertegas adanya dugaan dan potensi kartel serta trust yang dilakukan oleh XL dan Indosat Ooredoo," katanya.
Ditambahkannya, yindakan ini jelas mengurangi biaya produksi yang dikeluarkan oleh XL dan Indosat Ooredoo, sekilas terlihat seperti menguntungkan, namun berdampak besar bagi persaingan pasar telekomunikasi di negara ini dengan pelaku usaha yang hanya sedikit.
Padahal dalam UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menyebutkan ada kewajiban bagi operator untuk membangun jaringan termasuk BTS. “Apabila hal ini tidak dilaksanakan pasti akan merugikan masyarakat terkait layanan telekomunikasi yang mereka terima, OIS menjadi alat yang diduga dipakai untuk mengelabui kewajiban ini dan bertentangan dengan Program Nawa Cita Jokowi-JK yang ke-3,” terang Rofiq.
Revisi PP
Mengenai Revisi PP Nomor 52 dan 53 Tahun 2000 yang mewajibkan operator melakukan network sharing, Rofiq menuturkan, memang network sharing bukan sesuatu hal yang dilarang, namun ketentuan yang seharusnya dipenuhi terlebih dahulu adalah kewajiban para operator untuk membangun BTS harus dituntaskan terlebih dahulu.
“Dengan mengabaikan kewajiban tersebut dan berusaha menumpang pada aturan tersebut tentu hanya merugikan operator yang rajin membangun dan memenuhi kewajibannya. Sebab operator yang memenuhi kewajibannya sudah mengeluarkan biaya yang banyak untuk membangun BTS, namun mereka yang berusaha menumpang dengan mendorong RPP Nomor 52 dan 53 Tahun 2000 disahkan tentu melakukan tindakan yang tidak fair dan menjadi benalu bagi operator lain. Tidak ada simbiosis mutulasime, yang ada hanya benalu yang merugikan,” papar Rofiq.
Lebih lanjut ia menambahkan, bila melihat dengan seksama rangkaian kejadian antara hubungan XL dan Indosat Ooredoo sampai pada pembentukan joint venture OIS pada tahun 2016, seolah merupakan strategi yang sudah dipersiapkan dari lama demi keuntungan XL dan Indosat Ooredoo semata.
Di samping dugaan pelanggaran hukum dalam pembentukan OIS, XL dan Indosat Ooredoo juga ditengarai melakukan price fixing melalui promo tarif telepon antar operator. XL mengeluarkan promosi Rp 59 per menit untuk tarif antar operator.
Sebelumnya, Indosat Ooredoo mengeluarkan tarif promosi Rp 1 per detik untuk tarif telepon antar operator. Selain itu, Indosat Ooredoo mengeluarkan paket telepon ke semua operator sebulan dengan kuota 600 menit dibanderol Rp 135.000 atau setiap menit Rp 225. Sedangkan XL mengeluarkan paket telepon ke semua operator sebulan berkuota 600 menit dengan harga Rp 120.000 atau Rp 200 per menit.
Mengacu pada promo tarif telepon antar operator tersebut, terdapat kecenderungan kesamaan harga atau range harga yang tidak terlalu jauh yang dikeluarkan oleh kedua operator tersebut. Hal ini tentu semakin menguatkan dugaan price fixing, trust, dan kartel.
Rofiq menilai, dampak kartel ini harus dibuktikan dengan usaha yang cukup teliti dari KPPU sebab dalam membuktikan hal ini harus dilakukan dengan pembuktian indirect evidence sebab akan rumit membuktikan hal ini dikarenakan tindakan-tindakan tersebut pasti sangat rapat ditutupi. (
Baca:
Indosat soal OIS)
Masyarakat perlu memahami bahwa dalam pasar yang pelakunya hanya sedikit diharamkan untuk bekerjasama untuk menghindari persaingan usaha yang sehat. Semua pelaku usaha harus bersaing dengan baik satu sama lain untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat Indonesia, bukan berusaha merusak pasar dengan melakukan tindakan kartel dan trust. (
Baca:
OIS rugikan Konsumen)
“Masyarakat sudah semakin kritis, dan masyarakat jangan dibodohi dengan promosi-promosi yang mengelabui yang ternyata merugikan. FMPTI mendukung semua pelaku usaha bila bersaing dengan sehat dan kami siap menjadi pasukan terdepan dalam membela pelaku usaha yang melakukan praktek usaha yang sehat dengan mematuhi regulasi demi kemaslahatan masyarakat,” tutup Rofiq.(ak)