JAKARTA (IndoTelko) – Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) akhirnya membuka secara resmi draft Rancangan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.
Kominfo mengunggah draft revisi kedua RPP itu pada Jumat (10/11), setelah mendapat sorotan tajam sejak isu perubahan menyeruak ke ranah publik sejak Juni 2016. (
Baca:
Polemik PP Telekomunikasi)
Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Noor Iza menyatakan Kominfo melakukan uji publik melalui situs kementerian (www.kominfo.go.id) terhadap RPP tentang Perubahan atas PP No 52 dan 53 Tahun 2000 dengan pelaksanaan uji publik dilakukan mulai tanggal 14 November hingga 20 November 2016. (
Baca:
Network sharing)
Dalam dokumen yang diunduh IndoTelko melalui situs www.kominfo.go.id, terlihat memang isu hangat tentang network sharing yang menggelinding sejak Juni 2016 dibahas dalam dua RPP tersebut. Selain Network Sharing, ada juga pembahasan soal pengalihan frekuensi yang lumayan menjadi perdebatan sejak wacana revisi beredar. (
Baca:
Isu Panas Revisi PP)
Mengutip RPP No 52 Tahun 2000, rencananya di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan tujuh pasal, yakni Pasal 10A, Pasal 10B, Pasal 10C, Pasal 10D, Pasal 10E, Pasal 10F, dan Pasal 10G sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10A
Penyewaan Jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) berupa kapasitas jaringan telekomunikasi.
Pasal 10B
(1) Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dapat menyewakan jaringan telekomunikasinya kepada Penyelenggara Jasa Telekomunikasi.
(2) Selain penyewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jaringan telekomunikasi dari Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dapat digunakan oleh Penyelenggara Jasa Telekomunikasi.
(3) Penggunaan jaringan telekomunikasi oleh Penyelenggara Jasa Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa penggunaan jaringan telekomunikasinya untuk keperluan sendiri.
(4) Dalam keadaan tertentu, penggunaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam bentuk kerja sama antara penyelenggara jaringan telekomunikasi dengan penyelenggara jasa telekomunikasi setelah mendapatkan persetujuan Menteri.
(5) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:
a. penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomunikasi terafiliasi;
b. kebijakan Pemerintah untuk kepentingan umum; dan/atau
c. efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan telekomunikasi.
(6) Penyewaan dan/atau penggunaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa kapasitas jaringan telekomunikasi.
Pasal 10C
(7) Ketentuan mengenai penyewaan dan/atau penggunaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 10C
(1) Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dapat melakukan kemitraan dengan badan hukum dalam menyelenggarakan jaringan telekomunikasi.
(2) Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dapat melakukan pemanfaatan sarana dan prasarana telekomunikasi yang dimiliki oleh badan hukum dan/atau perseorangan.
Pasal 10D
Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dapat melakukan pemanfaatan sarana dan prasarana telekomunikasi yang dimiliki oleh instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 10E
Penyewaan, penggunaan, kemitraan, dan/atau pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10A, Pasal 10B, Pasal 10C, dan Pasal 10D wajib dimuat dalam perjanjian tertulis.
Pasal 10F
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyewaan, penggunaan, kemitraan, dan/atau pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10A, Pasal 10B, Pasal 10C, Pasal 10D, dan Pasal 10E diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 10G
(1) Dalam keadaan tertentu, Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi wajib membuka dan menyediakan kelengkapan jaringan transmisi miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) untuk dipakai dan dimanfaatkan secara bersama dengan Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi lain dan/atau Penyelenggara Jasa Telekomunikasi.
(2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada :
a. penciptaan persaingan usaha yang sehat antar penyelenggaraan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi;
b. pencapaian efisiensi penyelenggaraan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi kepada masyarakat;
c. perwujudan keberlanjutan penyelenggaraan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi kepada masyarakat; dan/atau
d. adanya ketentuan peraturan perundang-undangan yang membatasi pembangunan kelengkapan jaringan transmisi.
(3) Penyediaan kelengkapan jaringan transmisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan syarat:
a. terbuka, transparan, dan non-diskriminasi; dan
b. keadilan yang memperhitungkan biaya pembangunan yang telah dilaksanakan; dan
c. menunjuk penilai independen oleh Menteri dalam rangka perhitungan biaya pembangunan sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keadaan tertentu dan penyediaan kelengkapan jaringan transmisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
6. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan jaringan telekomunikasi yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan jaringan telekomunikasi sepanjang jaringan telekomunikasi tersedia.
(2) Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi wajib membuka kesempatan kepada Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi lain untuk menyewa jaringan telekomunikasinya sepanjang kapasitas jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10A tersedia.
(3) Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi wajib membuka kesempatan kepada Penyelenggara Jasa Telekomunikasi untuk menyewa dan/atau menggunakan jaringan telekomunikasinya sepanjang kapasitas jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10B ayat (6) tersedia.
(4) Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dilarang melakukan pembedaan perlakuan terhadap pengguna jaringannya yang bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Penyewaan dan/atau penggunaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan berdasarkan perjanjian yang memperhitungkan biaya pembangunan atas kewajiban yang dibebankan kepada Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi.
(6) Ketentuan mengenai ketersediaan kapasitas jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
7. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
Dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, Penyelenggara Jasa Telekomunikasi wajib memenuhi kewajiban layanan yang tercantum dalam izin penyelenggaraan jasa telekomunikasi.
8. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 5 (lima) Pasal, yakni Pasal 13A, Pasal 13B, Pasal 13C, Pasal 13D, dan Pasal 13E sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13A
Penyelenggara Jasa Telekomunikasi dapat menyewa dan/atau menggunakan jaringan telekomunikasi dari Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10B.
Pasal 13B
Penyelenggara Jasa Telekomunikasi dapat melakukan kerja sama dengan Penyelenggara Jasa Telekomunikasi lain dalam menyediakan layanan jasa telekomunikasi.
Pasal 13C
Penyelenggara Jasa Telekomunikasi dapat melakukan kemitraan dengan badan hukum dan/atau perseorangan dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi.
Pasal 13D
Penyewaan, penggunaan, kerja sama, dan/atau kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, Pasal 13B, dan Pasal 13C wajib dimuat dalam perjanjian tertulis.
Pasal 13E
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyewaan, penggunaan, kerja sama, dan/atau kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, Pasal 13B, Pasal 13C, dan Pasal 13D diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal-pasal yang dipaparkan diatas selama ini menjadi perdebatan di media massa karena ada unsur berbagi jaringan dan “kewajiban” membuka jaringan. Padahal, selama ini dalam praktiknya bisnis sewa jaringan diatur secara business to business (B2B).
Asal tahu saja, penyewaan jaringan telekomunikasi berupa kapasitas jaringan telekomunikasi adalah penyewaan seluruh atau sebagian kapasitas sistem jaringan telekomunikasi melalui rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi, yang dibangun dan/atau disediakan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi, yang mencakup sub sistem jaringan kabel, sub sistem jaringan optik, sub sistem jaringan frekuensi radio, dan/atau sub sistem jaringan elektromagnetik lainnya.
Jika selama ini wacana “wajib” berbagi hanya sekadar “tembakan” di media massa, dengan adanya draft resmi ini berarti “bola panas” itu memang nyata adanya.
Isu Frekuensi
Sedangkan jika mengutip dokumen RPP No 53 Tahun 2000, isu “ngeri-ngeri sedap” soal pengalihan frekuensi dan frekuensi pooling yang juga banyak dipersoalkan pengamat ternyata memang nyata.
Rencananya diantara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan Pasal 24a, Pasal 24b, Pasal 24c, dan Pasal 24d.
Di Pasal 24a dinyatakan Pemegang izin penggunaan spektrum frekuensi radio yang merupakan penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat menyewakan jaringan telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi radio kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya dan penyelenggara jaringan jasa telekomunikasi lainnya.
Di butir lainnya dinyatakan penyewaan jaringan nantinya wajib dan harus dilaporkan ke menteri.
Sedangkan di Pasal 25 dinyatakan pemegang izin penggunaan spectrum frekuensi radio yang merupakan penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat mengalihkan izin penggunaan spectrum frekuensi radio kepada penyelenggara lainnya.
Pengalihan harus mendapatkan izin dari menteri. Sebelum dialihkan, dikembalikan ke menteri untuk ditetapkan kembali ke penyelenggara telekomunikasi lainnya.(id)